ISLAMTODY ID— Para pendiri bangsa dari kalangan muslim gigih memperjuangkan agar Indonesia tak menjadi negara sekuler.
Upaya itu diantaranya, memasukan Syariat Islam dalam Piagam Jakarta, hingga masuk dalam Dewan Konstituante. Namun, perjuangan politik ini juga kandas.
Peliknya perjuangan umat Islam di ‘jalur’ politik dirasakan betul oleh Kasman Singodimedjo.
Mr. Kasman Singodimejo dalam pidatonya di forum Sidang perdana Dewan Konstituante, tertanggal 2 Desember 1957 mengungkapkan tentang hal tersebut.
“Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara yang tent-tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia yang telah pula saya singgung dalam pidati saya dalam pandangan umum babak pertama,” kata Mr. Kasman Singodimejo seperti yang ditulis oleh Artawijaya dalam Kisah Kasman Singodimejo dan Terhapusnya Piagam Jakarta.
Melalui pidatonya dalam sidang tersebut Mr, Kasman Singodimejo mengingatkan dialog yang alot soal dasar negara dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Saat itu wakil nasionalis sekuler berusaha mati-matian melobi para wakil Islam terutama Ki Bagus Hadikusumo.
Dalam dialog yang tak kunjung menemukan titik temu Soekarno dan Mohammad Hatta melakukan berbagai manuver. Diantaranya mengutus sejumlah tokoh seperti Tuan Hassan dari Aceh hingga Kasman Singodimejo untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo agar bersedia menghapus tujuh kata hasil Piagam Djakarta.
“Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo untuk menanti,” ujarnya.
Kasman juga mengingatkan bahwa janji-janji para wakil nasionalis sekuler itu belum juga terpenuhi hingga dua belas tahun merdeka. Enam bulan dari janji telah terlewati bahkan hingga Ki Bagus Hadikusumo wafat pada 4 November 1954 janji pemerintah Soekarno dan Hatta tak terpenuhi.
“Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai dengan wafatnya,” tutur Mr. Kasman Singodimejo.
Artawijaya juga menuliskan bagaiamana gaya lobi Mr. Kasman Singodimejo dalam meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo. Berikut kutipannya, ‘Kiai, di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-undang Dasar darurat.’
Sekilas Dewan Konstituante
Anggota Dewan Konstituante merupakan anggota yang dipilih dalam Pemilu yang berlangsung pada 15 Desember 1955. Selanjutnya pada 10 November 1956 Presiden Soekarno meresmikan Dewan Konstituante.
Pada masa itu tugas berat Dewan Konstituante ialah menyusun konstitusi negara yang saat itu ada tiga gagasan utama. Pancasila, Islam dan Sosial-Ekonomi.
Hal ini merupakan kesimpulan yang ditarik berdasarkan tiga kelompok besar dalam Dewan Konstituante seperti diungkapkan oleh Lukman Hakiem dalam Merawat Indonesia.
Lukman menyebutkan dukungan terhadap Islam berjumlah 230 yang berasal dari Masyumi, NU, PSII, PERTI dan partai kecil lain. Sementara dukungan terhadap Pancasila mencapai 273 yang terdiri atas PNI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI dan PKI.
Sementara Sosial-Ekonomi hanya memperoleh 9 suara yang berasal dari Partai Buruh dan Partai Murba.
Lukman menuturkan melihat komposisi suara yang sedemikian rupa artinya tidak ada satupun kelompok yang mendapatkan dukungan dua pertiga anggota Konstituante sebagaimana yang diamanatkan oleh UUDS 1950.
Lukman menuturkan pada masa itu para pimpinan politik memutuskan untuk melakukan jalan kompromi. Setahun kemudian tepatnya pada 11 November 1957 dibentuklah Panitia Perumusan Dasar Negara.
Panitia tersebut terdiri atas 18 anggota yang terdiri atas Enin Sastraprawira, Haji Hoesein Sastro Sudarmo, KH Sjukri, KH Masjkur, AS Dharta, Achmad Astrawianata, JCT Simorangkir, Amin La Engke, Ben Mang Reng Say, Sutan Takdir Alisyabana, Firmansjah, Baheramsjah St. Indra, Kuasini Sabil, Oei Tjoe Tat, Sjamju Harja Udaja, Sajogja Hardjadinata, dan Madomiharna.
Panitia tersebut dalam laporannya dalam Rapat Paripurna 6 Desember 1957 menyampaikan lima kesimpulan penting. Diantara kesimpulan-kesimpulan tersebut ialah pembentukan panitia adhoc.
“Agar dibentuk suatu Panitia Ad Hoc, Panitia Kompromi terdiri dari tokoh-tokoh pembela dasar negara Islam dan Pancasila masing-masing 5 orang… Mempunyai tugas mencari suatu perumusan yang dapat menampung segala keinginan dari dua belah pihak, misalnya dalam bentuk Nasionalisme, Religi, dan Sosialisme, sehingga usul dasar negara Sosial-Ekonomi tertampung juga,” ujar Lukman.
Pembahasan tentang dasar negara semakin memanas dalam rapat Badan Pekerja Konstituante yang berlangsung pada 9 Februari 1959. Dengan semakin mengerucutnya suara yang terdiri atas dua kelompok yakni kebangsaan dan Islam yang masing masing didukung oleh 99 suara dan 82 suara.
Belum tuntas kinerja Dewan Konstituante,pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden. Dalam dekrit tersebut Dewan Konstituante dibubarkan paksa.
Fakta historis diatas diungkapkan oleh Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya.
“Saya justru menemukan dan membuktikan bahwa Konstituante tidak gagal, tetapi digagalkan, Adnan Buyung Nasution dalam disertasinya tentang Konstituante di Universitas Utrecht, Belanda.
Lukman dalam kesimpulannya menyebutkan bahwa intervensi dari luar lah yang akhirnya membuat Konstituante gagal menuntaskan tugasnya. Bahkan pembubaran Konstituante dilakukan di masa reses Dewan Konstituante.
“Di tengah jalan dipotong dengan suatu Dekrit Presiden. Dalam hal ini, terjadi intervensi dari luar, bukan karena Konstituante yang diketuai oleh Mr. Wilopo itu macet atau deadlock seperti yang dituduhkan,” ujar Lukman.
“Konstituante sedang masa reses, akan bersidang kembali, tetapi didahului satu intervensi dari luar, Begitulah faktanya,” pungkas Lukman.
Penulis: Kukuh Subekti