ISLAMTODAY ID— Politik Etis Belanda turut meresahkan kalangan ulama dan kaum santri di Jawa Timur. Puncaknya, para kyai mendeklarasikan perlawanan melalui Nahdlatut Tujjar.
Politik etis selain diikuti dengan pendirian sekolah-sekolah sekuler juga menyebabkan sektor pertanian tergusur. Tanah-tanah milik rakyat yang selama ini sebagai lahan pertanian direbut paksa oleh pemerintah kolonial untuk lahan industri perkebunan.
Situasi ini membuat kalangan pesantren berinisiatif membentuk organisasi dakwah ekonomi, Nahdlatut Tujjar. Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Kaum Saudagar yang berdiri pada tahun 1918 bertepatan dengan akhir bulan Rajab tahun 1336 Hijriyah.
Sejumlah ulama dan kiai ternama seperti KH. Hasyim Asy’ari, Haji Hasan Gipo dan KH. Wahab Hasbullah. Mereka bersama 42 orang saudagar muslim di Surabaya, Kediri dan Jombang bersama-sama mendirikan koperasi.
Dikutip dari Sekilas Nahdlatut Tujjar yang diterbitkan oleh Jariangan Komisi Fatwa (Jarkom Fatwa) Surabaya pada November 2004 menjelaskan tentang berbagai faktor yang mendorong berdirinya Nahdlatut Tujjar.
Dijelaskan pula tentang upaya pendirian badan usaha pertanian yang bernama Syirkah al-‘Inan. Puluhan orang yang terdiri atas kyai serta saudagar muslim patungan untuk mengumpulkan modal awal untuk mendirikan Syirkah al-‘Inan.
Hasyim Asy’ari, Haji Hasan Gipo dan KH. Wahab Hasbullah masing-masing menyerahkan modal awal senilai 25 gulden, begitu pun 40 orang lainnya. Sementara dua orang lainnya seperti Moh. Arif (Kabuan, Kudu, Jombang) dan Kyai Abu Syakur (Ngampel, Ngoro, Jombang) masing-masing menyerahkan modal senilai 50 gulden.
Hasilnya terkumpul untuk modal awal pendirian Syirkah al-‘Inan senilai 1.175 gulden. Keuntungan usaha dibagi dua sama besar 50-50 setiap setahun sekali.
Besaran keuntungan 50% yang diterima tiap anggota dihitung sesuai dengan modal yang dia setorkan. Sementara 50% sisanya disetorkan untuk membesarkan usaha.
“Mudah-mudahan usaha ini dijadikan Allah sebagai suatu panutan yang mendapat berkat,” dikutip dari Lampiran Teks Terjemahan Deklarasi Nahdlatut Tujjar.
Keprihatinan
Dalam Lampiran Teks Terjemahan Deklarasi Nahdlatut Tujjar dijelaskan tentang situasi sosial yang mendorong pendirian organisasi tersebut. Para kyai merasa prihatin dengan fenomena kemrosotan bangsa beserta generasi penerusnya.
“Kita melihat merosotnya bangsa dan anak negeri kita, serta kecilnya perhatian dan kepedulian mereka terhadap syariat Islam yang dapat dibuktikan dengan sedikitnya penuntut ilmu (santri),” Lampiran Teks Terjemahan Deklarasi Nahdlatut Tujjar.
Hal lain yang menyesakkan dada mana kala sekolah-sekolah pemerintah Belanda yang sekuler lebih diminati. Padahal pemerintah kolonial sama sekali tidak menghormati umat Islam.
Fenomena lainnya yang juga terjadi ialah keunggulan kaum penjajah dalam bidang bidang ekonomi, ilmu serta kekuasaan. Sementara pada saat yang sama umat Islam dalam keadaan sebaliknya.
Melalui lembaran terjemahan yang sama para kyai dan ulama Jawa Timur mengungkapak tiga faktor yang menyebabkan kemrosotan umat Islam.
Pertama, melakukan tajarrud (sikap mengisolir dan membebaskan diri dari mencari nafkah) sedangkan mereka belum mampu. Akibatnya sebagian besar mereka harus merendah-rendahkan diri minta bantuan orang kaya yang bodoh atau penguasa yang durhaka.
Kedua, Ketidakpedulian mereka terhadap tetangga yang belum tahu rukun shalat dan bisa melafalkan syahadat. Tidak ada orang yang berdakwah sekaligus membimbing mereka dalam mencari nafkah.
Pada saat yang bersamaan orang-orang yang dianggap ahli dalam hal agama diam tak menolong saudaranya yang didzalimi. Misalnya ketika para penguasa zhalim merampas hak-hak kaum muslimin.
“Padahal sebenarnya jika mereka menang dan berhasil, mereka akan dihormati dan kata perintah mereka akan dituruti, misalnya perintah untuk shalat dan perintah agama lainnya,” Lampiran Teks Terjemahan Deklarasi Nahdlatut Tujjar.
Ketiga, banyaknya orang alim yang merasa cukup dengan ilmunya tidak melakukan musyawarah untuk menyelesaikan persoalan umat. Semestinya dari mereka lahir sebuah gerakan berjamaah seperti membentuk organisasi dan bermusyawarah membahas berbagai problem umat.
“Misalnya pembahasan menulis dengan tulisan Belanda, bagaimana hukum mempelajarinya haram atau bahkan fardhu kifayah?” imbuh mereka.
Para ulama pendiri Nahdlatut Tujjar mengkritik diamnya para orang-orang alim. Mereka mengkritik pedas kalangan alim yang dinilai pasrah terhadap nasib penjajahan tanpa melakukan ikhtiar.
“Engkau, semua wahai golongan kita sendiri jika kalian melangkah ke depan sepuluh langkah saja niscaya sudah kalian dapatkan maksiat yang dilakukan terang-terangan. Apakah semua orang di zaman ini telah tenggelam dalam suatu persekongkolan ‘semua sama’, sehingga kebaikan dan keburukan sama saja? Atau memang semuanya orang awam? Sehingga tidak ada yang tahu hukum? Atau semua perkara dikembalikan kepada takdir tanpa adanya usaha? Atau semuanya sudah putus asa dari Rahmat Allah yang Langgeng itu? Apakah sifat malas adalah watak orang Jawa?.”
Tiga hal di atas merupakan faktor yang mendorong Nahdlatut Tujjar berinisiatif mendirikan badan usaha untuk pertanian. Mereka bahkan membentuk struktur keorganisasian yang terdiri atas KH Hasyim Asy’ari sebagai Ketua, KH Wahab Hasbullah sebagai Bendahara, sementara Haji Hasan Gipo atau Hasan Bashri dan Mas Mansur menjadi sekretaris yang bertanggungjawab memegang dokumen-dokumen dan berkas penting.
Lembaran Lampiran Teks Terjemahan Deklarasi Nahdlatut Tujjar itu ditutup dengan sebuah syair yang berbunyi:
“Jika ahli ilmu dan ahli hujjah tidak dapat memberikan manfaat maka keberadaan mereka di tengah masyarakat sama saja dengan orang bodoh. Demikian juga jika seseorang tidak memberikan manfaat kepada orang lain, maka keberadaannya adalah bagaikan duri di antara bunga.”
Penulis: Kukuh Subekti