ISLAMTODAY ID— Kehidupan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Lafran Pane sangat jauh dari kemewahan. Ia dikenal sosok yang zuhud, low profile, dan tidak silau akan jabatan.
Kezuhudannya diakui oleh rekan sejawat hingga para yuniornya di HMI. Kisahnya yang paling menarik adalah pada saat ia terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), tahun 1990-an.
Kisah hidupnya dimuat dalam buku Lafran Pane Jejak Hayat dan Pemikirannya. Buku tersebut mengutip pernyataan Sulastomo (Mantan Ketum PB HMI 1963-1966).
Sulastomo seperti dikutip oleh Hariqo Wibawa Satria mengisahkan tentang pertemuan Sulastomo dengan Akbar Tanjung. Dari percakapan dua tokoh senior HMI itulah terungkap kesederhanan sosok Lafran Pane.
“Mas Lafran menceritakan honorarium yang diterimanya ia rasakan terlalu tinggi, ‘Buat apa uang sebesar itu?’,” ungkap Hariqo mengutip pernyataan Sulastomo.
Hariqo menambahkan kesederhanaan sosok Lafran Pane itu berlangsung hingga akhir hayatnya. Lafran Pane yang merupakan Guru Besar IKIP Yogyakarta atau Universitas Negeri Yogyakarta itu tetap setia dengan sepeda ontel.
“Sampai pada hari-hari terakhir mas Lafran sebagai dosen IKIP Yogyakarta, ia masih setia dengan sepeda menjalankan tugas sehari-harinya sedangkan selama di Jakarta, apa bila mas Lafran menghadiri sidang-sidang DPA, ia pun bermalam di hotel sederhana, bukan hotel berbintang,” ujar Hariqo.
Hariqo juga mengisahkan tentang hari-hari sebelum pelantikan anggota DPA. Lafran Pane lebih memilih menginap di Penginapan Perjalanan Haji Indonesia yang berlokasi di Kawasan Kwitang, dekat Statiun Gambir.
Lafran Pane bahkan menolak pemberian jas baru untuk prosesi pelantikan anggota DPA. Ia merasa cukup dengan jas yang ia bawa dari Yogyakarta.
“Lafran Pane berkomentar untuk apa jas baru bagi saya? Saya membawa jas dari Yogyakarta, ini saja sudah cukup,” tutur Hariqo.
Tolak Tawaran Jabatan-Hadiah
Ketokohan Lafran Pane membuat banyak pihak tertarik dan bersimpati. Tawaran jabatan dan hadiah pun kerap datang padanya.
Pertama, tawaran dari dua partai besar kala itu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar. Tawaran lain yang juga datang dari ormas Islam, Al-Jami’atul Wasliyah.
Semua ajakan dan tawaran posisi penting tersebut ditolaknya. Ia memilih t memberi teladan tanggungjawab moral seorang pemimpin kepada kader-kader HMI.
“Kalau saya masuk salah satu partai atau organisasi, saya sebagai pemrakarsa berdirinya HMI nanti akan timbul anggapan bahwa HMI tidak independen lagi,” ucap Lafran Pane seperti disebutkan oleh Hariqo.
Kedua, tawaran di bidang pendidikan. Tawaran menjadi rektor di tiga universitas diberikan kepadanya, Universitas Islam Sumatra Utara (UISU), Universitas Negeri Medan (UNIMED) dan Universitas Negeri Lampung (UNILA).
Ketiga, hadiah rumah dan mobil, merupakan hadiah dan ucapan terima kasih dari Yunior-yuniornya di HMI. Saat itu mereka merasa tersentuh dengan kesederhanaan yang ditunjukkan oleh Lafran Pane.
“Sekitar tahun 1983, alumni HMI Cabang Yogyakarta yang ada di Jakarta seperti Bedu Amang, Fathi Siregar, Yusuf Syakir, Ahmad Arif dan lain-lain bermaksud akan memberikan penghargaan kepada Lafran Pane,”
Pada tahun tersebut, ia tak memiliki rumah selain rumah dinasnya di Jalan Mrican I E, Yogyakarta. Rumah dinasnya pun tak ada perangkat telepon maupun mobil dinas.
Para alumni HMI Cabang Yogyakarta itu mengutus Agus Salim Sitompul untuk menyampaikan maksud baik mereka. Saat itu di luar dugaan, Lafran Pane dengan tegas menolak hadiah para yuniornya di HMI.
“Jangan menghina saya ya, saya tidak butuh itu semua. Walaupun pola hidup saya seperti ini, bukan berarti saya tidak sanggup membuat rumah, membeli mobil dan lain-lain. Berikan saja itu kepada yang membutuhkan. Terima kasih saya ucapkan atas perhatian itu,” demikian sikap tegas Lafran Pane kepada Agus Salim Sitompul.
Keempat, kembalikan sisa transport. Lafran Pane sering kali mengembalikan sisa uang transport dari PB HMI di Jakarta.
“Apabila uang pembelian karcis kereta api itu lebih, kelebihan itu selalu ia kembalikan kepada PB HMI,” ungkap Hariqo.
Penulis: Kukuh Subekti