MOSKOW, (IslamToday.id) — Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova mengecam kesimpulan yang diadopsi Dewan Urusan Luar Negeri Uni Eropa pada kegiatan pengeboran Turki di Mediterania Timur, pada Rabu (17/7).
Dewan Urusan Luar Negeri Uni Eropa menunda perundingan Perjanjian Transportasi Udara Komprehensif dan setuju untuk tak mempertahankan Dewan Asosiasi dan pertemuan lebih lanjut dari dialog tingkat tinggi Uni Eropa-Turki.
Saat berbicara dalam konferensi pers di Moskow, Rusia, Maria Zakharova mengatakan bahwa sanksi bukanlah “alat diplomasi” dan tak bisa menjadi dasar politik internasional.
“[Sanksi] ini mengarah pada hasil yang sangat menyedihkan, erosi hukum internasional dan erosi bentuk komunikasi beradab, dan mungkin terdengar sebagai citra artistik tapi juga mengarah pada dehumanisasi proses internasional, dalam arti bahwa negara dan orang menjadi marah,” pungkasnya.
Maria Zakharova menambahkan bahwa orang-orang memahami pembicaraan dapat mengarah pada solusi bersama namun mereka tak mengerti jika beberapa negara menggunakan kekuatan mereka, yang diperoleh dari “tahun kolonialisme” melawan negara-negara lainnya.
“Oleh karena itu, kami bersikap sangat negatif terhadap sanksi yang tak diizinkan Dewan Keamanan [PBB]. Sebagai timbal balik, kami dipaksa untuk mengatakan bahwa ini bagian dari realitas modern. Namun kami tidak dapat menerima tekanan sepihak, ilegal, agresif dan kebijakan yang bertujuan mempromosikan kepentingan sendiri,” tandasnya.
Turki konsisten menentang pengeboran sepihak pemerintah Siprus Yunani di Mediterania Timur, menegaskan bahwa Republik Turki Siprus Utara (TNRC) juga memiliki hak atas sumber daya di daerah tersebut.
Sejak musim semi ini, Ankara mengirimkan dua kapal pengeboran—Fatih dan Yavus—ke Mediterania Timur, menegaskan hak Turki dan TRNC atas sumber daya tersebut.
Kapal perang berbendera Turki, Fatih, meluncurkan operasi pengeboran pada Mei tahun ini di area 75 km di lepas pantai barat Pulau Siprus.
Athena dan Siprus Yunani menentang langkah itu, dan mengancam akan menangkap awak kapal serta meminta para pemimpin UE untuk bergabung dengan kritikan mereka.
Pada 1974, setelah kudeta yang bertujuan mencaplok Siprus dari Yunani, Ankara melakukan intervensi sebagai kekuatan penjamin. Pada 1983, TRNC berdiri.
Beberapa dekade selepas itu, seluruh upaya untuk merampungkan konflik Siprus berakhir gagal. Upaya terakhir digelar dengan partisipasi negara-negara penjamin—Turki, Yunani, dan Inggris, yang berakhir 2017 di Swiss.
Merujuk kemungkinan relokasi bom nuklir B61 AS dari Turki ke Bulgaria, Zakharova mengatakan dia tak memiliki informasi itu.
“Dari waktu ke waktu kami melihat spekulasi itu namun kami tak memiliki informasi yang terkonfirmasi. Hampir tiga tahun lalu, ada laporan soal relokasi senjata dari Turki ke Rumania, namun kemudian dibantah,” tukasnya, dikutip dari Anadolu.
Maria Zakharova menegaskan, Rusia mempertahankan posisinya mengenai penyebaran senjata nuklir AS, semua bom harus dikembalikan ke AS dan Washington harus berhenti mengajar negara-negara non-nuklir bagaimana menggunakan senjata tersebut.