JAKARTA, (IslamToday.id) — Pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia yang fokus mengenai kajian Asia Selatan / Pakar Asia Selatan, Agung Nurwijoyo menyebut Indonesia memiliki peluang untuk memediasi konflik antara India dengan Pakistan terkait Kashmir.
Menurutnya, Indonesia memiliki rekam jejak yang baik karena perannya dalam menjadi mediator dalam konflik di Asia Selatan yakni antara Afghanistan dengan Taliban.
“Memang secara garis besar sampai hari ini butuh negosiator ulung hingga saat ini belum ada,” ujar Agung Nurwijoyo, di Jakarta pada Rabu (14/8).
Apalagi menurut Agung, Indonesia memiliki hubungan baik dengan Pakistan dengan India.
India merupakan mitra dagang startegis karena negara yang dipimpin Perdana Menteri Narendra Modi itu merupakan negara tujuan ekspor CPO Indonesia terbesar.
Sementara itu, Pakistan dengan Indonesia merupakan negara yang sama-sama penduduknya mayoritas Islam, selain itu juga kedua negara merupakan negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI).
“Isu Kashmir sensitif dan kita tidak bisa melihatnya sebagai isu terkait dengan dunia Islam, meskipun mayoritas di sana adalah mayoritas Muslim. Nah tapi kita melihat juga dari sisi yang lain bahwa Indonesia di kawasan Asia Selatan tidak hanya membutuhkan Pakistan sebagai mitra tetap, Indonesia juga butuh India sebagai mitra,” ujarnya, dilansir dari AA.
Menurut Agung, peluang itu dilihat dari hubungan dekat Indonesia dengan India dan Pakistan yang telah terbangun sejak penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pada 1955 dan Gerakan Non Blok pada 1961. Selain latar historis, Agung menilai, posisi Indonesia cukup netral untuk menjadi penggerak terbangunnya komunikasi antara dua negara yang bersitegang di Kashmir itu.
“Indonesia dengan Pakistan dekat sebagai sesama negara berpenduduk mayoritas muslim, sementara Indonesia dan India dekat dalam hubungan ekonomi. Kita tahu, India merupakan negara tujuan ekspor CPO (crude palm oil) terbesar dari Indonesia,” kata Agung saat ditemui sebelum berbicara dalam diskusi tentang Kashmir di Jakarta.
Pengamat Asia Selatan UI itu berpendapat tidak terlalu sulit bagi Indonesia untuk menawarkan diri menjadi penghubung terbangunnya dialog antara India dan Pakistan. Alasannya, Indonesia memiliki pengalaman jadi penengah konflik di Afghanistan, negara yang berada di Asia Selatan.
“Pintu gerbangnya lewat Afghanistan. Indonesia punya pengalaman jadi penengah konflik di sana. Ini saatnya Indonesia masuk wilayah non-konvensional (seperti Kashmir) dalam menjalankan misi perdamaian,” terang Agung.
Sejak ketegangan di Kashmir meningkat pada awal Agustus, pemerintah Indonesia telah mendorong dua negara yang bersitegang untuk membangun dialog bilateral guna mendudukkan masalah di Kashmir. Namun, Indonesia belum menawarkan diri menjadi penghubung dua negara tersebut agar dapat duduk bersama di meja runding.
Sejauh ini, Turki dan Amerika Serikat jadi dua negara yang menyatakan kesiapannya untuk jadi penengah konflik. Akan tetapi, India menolak tawaran AS sebagai penengah, walaupun Pakistan menyambut usulan itu.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan telah menyampaikan tawaran jadi penengah ke Perdana Menteri Pakistan Imran Khan dalam pembicaraan melalui telepon. Setelah pembicaraan itu, Erdogan berencana menghubungi Perdana Menteri India Narendra Modi guna membahas kemungkinan Turki jadi penengah konflik Kashmir.
Hubungan India dan Pakistan kembali tegang setelah PM Narendra Modi mencabut status istimewa atau otonomi khusus negara bagian Kashmir pada medio Agustus 2019. Padahal, otonomi khusus itu telah dinikmati warga negara bagian Kashmir selama tujuh dasawarsa. India tak hanya mencabut status istimewa Kashmir, tetapi juga menerjunkan 10.000 pasukan militer, menerapkan jam malam, menutup sekolah dan meminta wisatawan meninggalkan dataran tinggi itu.
India dan Pakistan telah memperebutkan Kashmir sejak dua negara itu merdeka dari Inggris pada 1947. Keduanya pernah terlibat konflik bersenjata, yaitu Perang India-Pakistan pada 1947 dan Perang Kargil pada 1999 untuk memperebutkan kuasa atas Kashmir. Namun pada 1972 melalui Perjanjian Simla, keduanya sempat sepakat untuk membagi 2/3 Kashmir untuk India dan sisanya berada di bawah kendali Pakistan.
Beberapa waktu lalu, India membatalkan status khusus yang diberikan kepada satu-satunya negara bagian berpenduduk mayoritas Muslim di negara itu.
Status memungkinkan Kashmir memberlakukan otonomi sendiri dengan imbalan bergabung dengan persatuan India setelah kemerdekaan pada 1947.
Sejak 1947, Jammu dan Kashmir diberi hak khusus untuk memberlakukan hukumnya sendiri. Ketentuan tersebut juga melindungi hukum kewarganegaraannya, yang melarang orang luar untuk menetap atau memiliki tanah di wilayah tersebut.
Jammu dan Kashmir itu dikuasai oleh India dan Pakistan sebagian dan diklaim oleh keduanya secara penuh. Sejak berpisah pada 1947, India dan Pakistan telah berperang sebanyak tiga kali – pada 1948, 1965 dan 1971 – dua di antaranya memperebutkan Kashmir.
Sumber: Antara