ISLAMTODAY ID — Sejak Kudeta 1 Februari lalu oleh Militer Myanmar, gelombang aksi demonstrasi masif terjadi hingga 21 April ini menelan 739 korban jiwa, 3.331 ditangkap menurut AAPP.
Para pengunjuk rasa yang menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi, Pemimpin de facto Myanmar dalam pemilu November lalu, turun dan memenuhi jalanan Myanmar.
Menurut Pengkaji Geopolitik Global Future Institute, Hendrajit dalam wawancara melalui telepon dengan IslamToday mengatakan bahwa Kudeta Myanmar terjadi berlarut-larut hingga memakan korban karena sejarah panjang pemerintahan Myanmar.
“Bereaksi terhadap pemerintahan militer Myanmar, harus kilas balik saat Jenderal Ne Win pada 1962 merebut kekuasaan pemerintahan sipil U Nu.” ujarnya.
Hendrajit menambahkan bahwa Myanmar menganut sistem sosialisme yang mana negara menjadi subjek ekonomi dan politik. Hal ini yang sebenarnya tidak beda dengan era Bung Karno dan Pak Harto, tambahnya.
“Hanya saja, di Burma yang kemudian jadi Myanmar itu, militer memang bukan sekadar tentara profesional. Dari awal merupakan bagian dari kaum pergerakan nasional memperjuangkan kemerdekaan dari Inggris. Bahkan ayahanda dari Aung San Suu Kyi, Jenderal Aung San, juga merupakan perwira tinggi militer. Dan kalau tidak tewas terbunuh saat Burma merdeka, mungkin Jenderal Aung San lah yang bakal jadi presiden Burma, bukan U Nu atau Ne Win,” jelasnya kepada IslamToday.id
Merujuk pada sejarah panjang Myanmar, menurut Hendrajit, permasalahan inti antara Aung San Suu Kyi dan militer bukan sekedar sipil melawan tentara. Melainkan “masalah krusial adalah karena Jenderal Ne Win sejak awal kemerdekaan Burma merupakan seteru dari Jenderal Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi.” tandasnya.
Sementara itu, Myanmar dulu sempat dipimpin oleh pemimpin sipil yang diperoleh dari kompromi politik.
“Dan ketika pemimpin sipil Burma, U Nu akhirnya yang jadi presiden menyusul tewasnya Aung San, sebenarnya merupakan hasil kompromi politik.” jelasnya.
Aliansi Strategis Militer Myanmar
Pada tahun 1962 kepemimpinan Burma jatuh di tangan Ne Win sampai tahun 1981. Ne Win yang sebelumnya merupakan politikus dan komandan militer memegang kendali Burma secara militer.
Bahkan saat itu para pendukungnya yang notabene militer menguasai negara. Lebih lanjut militer mampu menggalang aliansi strategis di berbagai elemen masyarakat.
“Saat itu Ketika Ne Win pada 1962 pegang kendali penuh kepemimpinan Burma, maka bukan saja militer dari garis para pendukung Ne Win yang berkuasa. Tapi juga militer berhasil menggalang sebuah aliansi strategis dengan berbagai elemen strategis masyarakat sipil di Burma. Termasuk di dunia usaha”, paparnya kepada IslamToday.
Peninggalan sosialisme tersebut masih ditemukan hingga sekarang. Diketahui beberapa perusahaan-perusahaan asing maupun dalam negeri berkerjasama dengan militer Myanmar.
“Jadi sepeninggalan Ne Win yang kemudian diganti oleh Jenderal Than Swee hingga sekarang Jenderal Aung Ming Hlaing, militer dan sipil Myanmar sudah berhasil membangun infrastruktur sosial dan ekonomi atas dasar skema politik Myanmar yang sejatinya tetap menganut sosialisme dari awal merdeka hingga kini.” tandasnya.
Reporter: Resa Enggar