JAKARTA,(IslamToday ID) – Lembaga penelitian Imparsial menemukan puluhan kasuspelanggaran terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) atau intoleransidi Indonesia dalam kurun waktu tahun 2019.
Koordinator Program Imparsial, Ardimanto Adiputra mengatakan, pelanggaranterhadap hak KKB terjadi dalam pelbagai bentuk. “Setidaknya terdapat 31 kasusyang kami monitoring lewat media-media, pelanggaran hak terhadap kebebasanberagama dan berkeyakinan,” kata Ardimanto di kantornya, Jakarta, Senin (18/11/2019).
Ia menjelaskan pelanggaran hak KKB didominasi oleh pelarangan terhadap ritual,pengajian, ceramah atau pelaksanaan kepercayaan agama yang terjadi sebanyak 12kasus.
Sedangkan urutan berikutnya adalah pelarangan pendirianrumah atau tempat ibadah dengan 11 kasus, perusakan terhadap rumah ibadah baikgedung ataupun properti dengan tiga kasus, dan pelarangan terkait kebudayaanetnis tertentu dalam hal ini Cap Gomeh dengan dua kasus.
“Kemudian yang kelima, ada pengaturan tentang tata caraberpakaian berkaitan dengan agama atau keyakinan tertentu. Ini ada satu kasus,”terang Ardimanto.
Pelanggaran berikutnya adalah perihal imbauan atau edarantentang aliran agama tertentu dengan satu kasus. Poin terakhir adalah terkaitpenolakan untuk bertetangga dengan orang yang tidak seagama. “Ini juga terjadisebanyak satu kasus,” tandasnya.
Ardimanto mengatakan pelaku pelanggaran tersebut terdiri darikalangan masyarakat dan aparat negara atau pemerintah. Teruntuk yang terakhiritu, ia merinci telah terjadi pelanggaran dengan catatan empat kasus.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan pemerintah, jelasnya, berupapencabutan pendirian rumah ibadah, pelarangan perayaan atau ritual agamatertentu, dan imbauan atau edaran yang dilakukan pemerintah untuk mewaspadaialiran atau agama tertentu.
“Nah ini aparat negara atau pemerintah masih menyumbangpelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal seharusnyamereka menjadi pihak yang melindungi hak atas kebebasan beragama danberkeyakinan,” jelas Ardimanto.
Peneliti Indonesian Legal Roundtable (ILR) Erwin NatosmalOemar menambahkan, intoleransi tidak terlepas dari kerangka hukum yang ada diIndonesia. Teruntuk kebijakan nasional, ia menyoroti pasal penghinaanagama. Menurutnya, penggunaan diksi penghinaan sudah tidak relevan dengankondisi saat ini.
Erwin pun menyoroti pasal 304 KUHP yang mengatur tentangpidana lima tahun bagi orang yang menyatakan perasaan atau melakukan perbuatanbersifat permusuhan atau penodaan terhadap agama yang tidak dihapus. Apalagi,katanya, dalam aturan perubahan KUHP terdapat tambahan delik intoleransi yaknipasal 306. “Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pundengan maksud meniadakan keyakinan seseorang terhadap agama apa pun yang dianutdi Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
“Hal ini terjadi di regulasi nasional, dalam hal ini KUHP danRKUHP yang masih memberikan ruang kepada orang melakukan tafsir subjektif,sehingga kemudian dalam praktiknya orang menggunakan rujukan KUHP sebagai alas,”kata Erwin.
Sementara untuk daerah, intoleransi muncul dari kebijakan-kebijakandiskriminatif pemerintah daerah melalui peraturan daerah (Perda). “Perda-perdasyariah, mohon maaf ya, Perda-perda yang berbau agama rupanya tidak didorongoleh kelompok-kelompok yang berbasis agama, tetapi juga oleh kelompok-kelompokyang tidak berbasis agama,” tandasnya.
Menurut Erwin, Perda diskriminatif lahir karena ekspresipolitik. Di mana, jelas Erwin, agama menjadi jualan paling laku untuk menggaetsuara. “Terkadang Perda-perda yang berbau agama dihidupkan, misalnyaorang harus bisa baca Al Quran, orang harus ikut pengajian, atau harus memakaijilbab, padahal tidak semua orang beragama Islam,” katanya. (wip)
Sumber: CNNIndonesia.com, Gelora.co