JAKARTA, (IslamToday ID) – Penunjukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina (Persero) terus mendapat penolakan. Kali ini penolakan datang dari Indonesia Resources Studies (IRESS). Ahok dinilai tidak layak duduk di kursi Komut Pertamina karena integritasnya dipertanyakan.
Direktur IRESS, Marwan Batubara menyatakan rekam jejak dan status Ahok selama menjadi pejabat publik diyakini tidak memenuhi syarat sebagai pimpinan BUMN, baik sebagai anggota direksi maupun komisaris BUMN.
Persyaratan tersebut antara lain tercantum dalam UU No 19/2003 tentang BUMN, Permen BUMN No 02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Komisaris BUMN, serta Permen BUMN No 01/2011 tentang Penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN.
“Pasal 28 UU BUMN antara lain mensyaratkan komisaris BUMN harus memenuhi kriteria integritas, dedikasi, dan pemahaman di bidang bisnis BUMN. Faktanya, Ahok sangat bermasalah, terutama karena tersangkut sejumlah kasus dugaan korupsi dan gagal menegakkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik,” ungkap Marwan dalam laporannya, Rabu (27/11/2019).
Status Ahok yang pernah dihukum pidana selama 2 tahun penjara, dinilai jelas tidak memenuhi kriteria nilai moral yang tinggi sebagaimana dipersyaratkan Permen BUMN No 01/MBU/2011 dan Permen BUMN No 03/MBU/2015. Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah memvonis Ahok yang terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penistaan agama.
Marwan menjelaskan, yang tak kalah penting, ternyata Ahok merupakan sosok pejabat publik yang sarat dengan dugaan berbagai kasus korupsi besar bernilai miliaran sampai triliunan rupiah. Pada 2017 IRESS dan sejumlah LSM telah melaporkan Ahok ke KPK.
“Ada kasus Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW), lahan Taman BMW, lahan Cengkareng Barat, reklamasi Teluk Jakarta, dana CSR, dana off-budget, tambang Belitung Timur, pengadaan UPS, dan pengadaan bus Trans Jakarta. Semua sudah memiliki bukti permulaan yang cukup, tapi tidak ada satu pun yang diproses ke pengadilan,” ungkap Marwan.
Untuk kasus RSSW, BPK merilis ada dugaan korupsi dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 191 miliar. Bahkan kerugian negara tersebut bertambah Rp 400 miliar karena Kartini Muljadi sebagai penjual lahan hanya menerima Rp 355 miliar dari nilai kontrak sebesar Rp 755 miliar, sedangkan sisa Rp 400 miliar entah ke mana.
Kemudian dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta yang melibatkan Ahok sebagai salah satu pelaku utama, juga terjadi banyak pelanggaran. Di antaranya pelanggaran UU Tipikor No 20/2001, UU Lingkungan Hidup No 32/2009, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir No 1/2014, PP RTRW Nasional No 26/2008, Kepres Reklamasi Pantai Utara Jakarta No 52/1995, dan UU Pengadaan Tanah No 2/2012.
“Ketua KPK Agus Rahardjo sendiri mengatakan proyek reklamasi dapat merugikan negara puluhan bahkan ratusan triliun rupiah. Tapi ternyata Agus dan KPK double standard. Meskipun fakta-fakta persidangan terhadap M Sanusi dan Ariesman Wijaya telah membuktikan keterlibatan Ahok, Sunny dan Aguan, tapi ternyata KPK tidak melanjutkan proses hukum ketiga terduga koruptor itu,” ujar Marwan.
Alasan Absurd KPK
Dalam kasus RSSW, KPK menilai Ahok tidak memiliki niat jahat (mens rea). Padahal bukti-bukti permulaan untuk mengadili Ahok sudah lebih dari cukup, seperti kerugian negara sebesar Rp 191 miliar sesuai Laporan Audit BPK pada 31 Mei 2016.
Menurut UU No 3/1971, sebuah kasus korupsi harus dilanjutkan ke proses pengadilan jika telah tersedia dua bukti permulaan. Di kasus RSSW sudah banyak ditemukan bukti permulaan, misalnya ada uang hilang, ada orang yang menerima uang, pembayaran dilakukan di malam hari, hingga pembayaran dilakukan cash.
“Bagaimana mungkin KPK menyebutkan tidak ditemukan niat jahat? Jelas sekali KPK telah berperan aktif melindungi Ahok dari jerat hukum,” kata Marwan.
Di sisi lain, muncul kampanye bahwa audit BPK salah dan auditor kasus RSSW diperiksa aparat hukum. Kemudian BPK akhirnya terjebak pada wacana dan upaya menangkis serangan Ahok dan para pendukungnya. Bahkan sejumlah pimpinan BPK pun mengalami kriminalisasi.
“Padahal selama ini belum pernah ada orang yang mempersoalkan audit BPK. Harusnya dapat dilakukan uji kebenaran atas data yang dimiliki BPK dengan yang dimiliki Ahok. Namun hal tersebut tidak berani dilakukan,” tegas Marwan.
Menurut ilmu hukum, jika isu mens rea ingin dicari dan dibuktikan secara objektif, maka caranya bukan mencari pada pikiran atau perasaan si tertuduh, tetapi dicari pada actus reus. Actus maksudnya akting, tindakan, atau delik, sedangkan reus maksudnya rea, yakni tindakan jahat.
“Jika tetap ingin menggunakan alasan mens rea ini, maka KPK hanya bisa menerapkannya kepada anak di bawah umur 5 tahun, bukan kepada manusia dewasa seperti Ahok. Kalau KPK ingin membohongi rakyat demi melindungi Ahok, pakailah cara yang lebih cerdas dan relevan. Jika alasan memang tidak tersedia, maka segeralah adili Ahok!” tegas Marwan.
IRESS pun memperoleh informasi, ada petinggi pemerintah yang memanggil pimpinan BPK dan meminta agar kasus dugaan korupsi RSSW tidak dilanjutkan. Padahal, berdasarkan audit BPK, bukti-bukti adanya korupsi kasus RSSW sudah sangat valid dan material.
IRESS pun mendesak Menteri BUMN dan Presiden Jokowi agar membatalkan pengangkatan Ahok sebagai Komut Pertamina. “Kami harap pemerintah tidak memaksakan kehendak dan segera menurunkan Ahok dari jabatan Komut Pertamina,” pungkas Marwan. (wip)