JAKARTA, (IslamToday ID) – Hingga Minggu (5/1/2020) kapal-kapal China masih berkeliaran dan bertahan di Perairan Natuna Utara. Kapal-kapal tersebut berada di 130 NM timur laut Ranai, Natuna.
Bahkan, dari informasi yang dihimpun sedikitnya 1.000 kapal asing diduga melewati perairan Natuna setiap hari. Hal itu diketahui melalui pemantauan Sistem Monitoring Skylight.
Dikonfirmasi, Panglima Komando Gabungan Wilayah
Pertahanan (Pangkogabwilhan) I TNI Laksamana Madya TNI Yudo Margono membenarkan
bahwa kapal-kapal China masih bertahan di perairan
Natuna.
“Iya benar (masih bertahan), 2 coast guard dan 1 pengawas perikanan plus 30 kapal ikan China,” kata Yudo, Senin (6/1/2020).
Ia mengatakan rencananya akan ada pengerahan
6 KRI di perairan Natuna. Meskipun masih bertahan, TNI tetap
akan melakukan shadowing terhadap
keberadaan kapal-kapal tersebut.
Selain itu, pihaknya tetap akan mengupayakan langkah-langkah
yang persuasif agar kapal-kapal China tersebut mau meninggalkan
perairan Indonesia. “Diambil langkah-langkah persuasif
dengan komunikasi yang baik,” ujarnya.
Sementara itu, pemantauan Sistem Monitoring
Skylight merupakan pemantauan dengan teknologi penginderaan jarak
jauh, SAR, dan optikal. Sistem tersebut mampu mengidentifikasi kapal-kapal
secara langsung dan platform yang dapat memperkirakan tindakan pelanggaran
hukum sekaligus.
Berdasarkan data pemantauan sampel, terlihat jumlah kapal asing bisa mencapai
1.647 kapal per hari pada April 2019. Sedangkan di bulan-bulan lain cenderung
menurun, misalnya 810 kapal di Mei, 580 kapal di Juni, dan 768 kapal di Juli.
Dari data juga ditemukan ada kapal-kapal asing yang berada dalam kondisi dark
vessel atau tidak menyalakan Sistem Pelacakan Kapal Otomatis (Automatic
Identification System), namun berada di sekitar perairan Natuna. Tercatat, jumlahnya sebanyak 1.533 kapal di April,
767 kapal di Mei, 505 kapal di Juni, dan 680 kapal di Juli pada periode yang
sama.
Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko
Kemaritiman dan Investasi, Purbaya Yudhi Sadewa mengatakan jumlah kapal asing
cenderung tinggi di suatu waktu karena faktor dukungan cuaca.
Misalnya, ketika cuaca memungkinkan kapal asing melaut tentu
mereka akan berbondong-bondong memasuki kawasan perairan Natuna. “Mungkin berhubungan dengan iklim, jadi masih dipelajari datanya. Tapi
setidaknya dengan data ini bisa dipelajari pola musiman dan trennya untuk
kebijakan ke depan,” ujar Purbaya.
Sayangnya, hasil pemantauan sampel kapal asing yang ada di
perairan Natuna belum utuh sepanjang 1 tahun penuh. “Tertingginya di April 2019 sampai 1.647 kapal,” kata Purbaya.
Walaupun demikian, ia menuturkan hasil monitoring AIS
setidaknya sedikit banyak sudah bisa dijadikan acuan untuk pengambilan
kebijakan ke depan. Salah satu yang akan dilakukan, yaitu integrasi sistem data
antara seluruh kementerian/lembaga yang memegang peranan dalam masalah kelautan.
Per Desember 2019 lalu, katanya, sudah ada langkah
penandatanganan kesepakatan integrasi data antar delapan kementerian/lembaga.
Ini terdiri dari Kemenko Kemaritiman dan Investasi, Kementerian Keuangan,
Kementerian Perhubungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Polri, Badan SAR
Nasional, Badan Keamanan Laut (Bakamla), serta Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional.
Targetnya, integrasi data siap dilakukan pada paruh kedua
tahun ini. “Pertengahan paruh pertama tahun ini kami akan rapat, selesaikan semuanya,
lalu paruh kedua sudah jalan karena SOP-nya sudah siap antar
kementerian/lembaga,” ungkapnya.
Di sisi lain, Purbaya mengatakan perlu beberapa kebijakan lain untuk menangani maraknya kapal-kapal asing di perairan Natuna. Misalnya, memperketat pengawasan oleh Bakamla dan penambahan sistem teknologi pemantauan. (wip)
Sumber: CNNIndonesia.com, Republika.co.id