(IslamToday ID) — Warga Kampung Tegalarum, RT 1 RW 13 Kelurahan Cangakan, Karanganyar, Jawa Tengah mengkarantina kampung mereka. Inisiatif ini diambil karena kewaspadaan mereka akan penyebaran virus corona (covid-19).
Seperti dilansir Gatra.com, warga Karantina dilakukan dengan menutup akses jalan utama di kampung itu. Tujuannya agar tidak ada orang yang keluar masuk melewati kampung yang dihuni 50 KK atau 200 jiwa tersebut.
Keputusan ini tidak dilakukan secara gegabah. Inisiatif karantina kampung ini telah melalui rapat warga, Sabtu kemarin (28/3/2020). Warga isolasi secara lokal ini dapat menghindarkan mereka dari terjangkit Covid-19, meskipun askses jalan tidak semudah biasanya.
“Tujuannya agar warga kami tidak terimbas oleh virus corona. Jadi kami mengantisipasi agar tidak ada warga yang keluar rumah kecuali ada kepentingan tertentu. Selain itu, kami juga telah mengantisipasi dengan menyemprotkan cairan disinfektan baik di luar maupun di dalam rumah,” ujar Winarno Ketua RT 1/RW 13 di kampung tersebut.
Karantina kampung diatas hanya salah satu contoh kecil dari kesiapsiagaan dan kewaspadaan masyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah covid-19. Kampung kampung di daerah lain, seperti di Kabupaten Klaten, Sukoharjo, Purwokerto dan wilayah lain juga tampak menerapkan kewaspadaan yang sama.
Tidak asal melakukan karantina wilayah, di Gampong Kuala, Pidie, Provinsi NAD (Nanggroe Aceh Darussalam) warga mendapat bantuan sembako selama masa karantina. Pengadaan sembako memanfaatkan dana desa.
“Sembako itu akan kami salurkan selama tiga tahap dengan nominal sekitar Rp 200 ribu perkepala keluarga, hal itu dilakukan untuk pemulihan sosial ekonomi bagi masyarakat,” ujar Keuchik Teuku Shadliar, seperti dikutip AJNN.net Selasa (31/3/2020)
Hal yang sama juga dilakukan di Gampong Lambung, Kecamatan Meuraxa, Banda Aceh. Setelah resmi memberlakukan karantina, sejak Sabtu (28/3/2020). Pihak gampong membagikan bantuan sembako untuk seluruh warga, karena keluar dari gampong (desa). Bahkan, bantuan diantar langsung oleh petugas ke rumah warga.
Pertimbangan
Di sisi lain, rupanya pemerintah tampak berat untuk menerapkan kebijakan karantina wilayah, meskipun kasus pandemi COVID 19 telah menembus angka kasus diatas seribu jiwa dan meluas hingga 27 provinsi.
Bagi pemerintah mungkin tidak mudah untuk menerapkan karantina wilayah. Banyak faktor yang menjadi pertimbangan. Diantaranya faktor perekonomian dan kemampuan anggaran untuk menanggung kebutuhan masyarakat selama masa karantina sebagaimana dijamin dalam UU No.6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan.
Jika ditengok kebelakang, 15 Maret 2020 lalu pemerintah lebih memilih kebijakan Social Distancing sebagai cara memperlambat penularan corona, kemudian istilah ini diganti dengan Phsyical Distancing (jaga jarak fisik) pada 23 Maret 2020.
Dalam kurun waktu tersebut, desakan agar pemerintah menetapkan lockdown atau karantina wilayah menggema. Sampai-sampai tiap-tiap kepala daerah mengambil inisiatif sendiri, meskipun hal ini bertentangan dengan UU Kekarantinaan Kesehatan.
Surat permohonan Gubernur DKI Jakarta, Anis Baswedan yang memohon agar diterapkan karantina wilayah juga tidak mampu mengetuk inisiatif pemerintah pusat. Padahal kasus covid-19 di ibukota menduduki posisi tertinggi dibanding kota-kota lainnya. Bahkan 57 persen kasus covid-19 berasal dari wilayah Jakarta.
Di sisi lain, ada pula yang menolak kebijakan karantina wilayah, atau yang akrab ditelinga masyarakat dengan istilah lockdown. Sebagian adalah mereka yang bergerak di sektor informal, juga kalangan menengah ke bawah yang harus mengais rejeki dengan upah atau pendapatan harian.
Padahal jika ada keterbukaan, bahwa UU Kekarantinaan menjamin hak dan kebutuhan harian mereka selama masa karantina, mungkin mereka dengan senang hati akan mematuhinya. Sebaliknya, tidak adanya keterbukaan membuat mereka terpaksa berani menghadapi bahaya, termasuk mengabaikan kebijakan social distancing.
Subtansi Karantina Wilayah
Hendrajit, Analis dan Peneliti Global Future Institute (GFI) mengatakan, baik pemerintah yang menolak diberlakukannya lockdown total, maupun yang mendesak penetapan status itu secepatnya, terperangkap pada isu ekonomi sebagai titik-tolak perdebatan.
“Jadinya nggak substansial dengan tujuan pokok: Menyelamatkan rakyat dari Pandemi Global secepatnya,” tulis Hendrajit melalui akun Facebook pribadinya.
Lanjut Hendrajit, meski tidak terang-terangan, tampaknya menjadikan faktor ekonomi sebagai bahan pertimbangan untuk menolak. Sementara itu, pihak yang pro lockdown total, sepertinya dapat pembuktian bahwa pemerintah tidak punya uang.
“Memang iya sih, nggak punya duit. Lha wong cadangan devisanya aja lebih besar daripada hutangnya,” imbuhnya.
Tapi kemudian, perdebatan tidak secara substansial menyentuh hal hakiki di balik soal gagasan lockdown. Yakni, soal strategi jitu menyelamatkan bangsa secepatnya dari pandemi global ini.
Selain itu, kedua belah pihak terperangkap pada isu ekonomi dan keuangan. Akhirnya, tanpa sadar mengabaikan faktor paling penting dari strategi penyelamatan atas pandemi covid-19 . Yaitu, kemampuan ketahanan rakyat semesta untuk bertahan dan ‘survive’.
Pada dasarnya, inti kekuatan bukan pada ekonomi, tapi pada kodrat sosial budaya masyarakat untuk bertahan dan menghalau musuh yang datang dari luar. Termasuk wabah penyakit.
“Nah, justru ini yang tidak tergali secara mendalam dari berbagai elemen bangsa,” pungkas penulis buku Perang Asismetris itu
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza