IslamToday ID — Mantan staf khusus menteri ESDM, Said Didu menilai istana menunjukan nepotisme secara terang-terangan. Hal ini tampak dari pemberian proyek kepada staf khusus Presiden.
“Baru pertama kali ini saya melihat dipertontonkan secara terbuka nepotisme terjadi di ruang istana secara terbuka”, ujarnya. Sebelumnya mencuat kabar tidak sedap dari Istana. Dua stafsus Presiden terungkap menerima proyek dari pemerintah.
Pertama, staf khususnya Presiden, Andi Taufan Garuda yang merupakan CEO PT. Amartha. Perusahaan ini menjalankan proyek Relawan Desa Lawan Covid-19 dari Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk menjadi relawan desa di area Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.
Setelah itu, terungkap bahwa aplikasi Ruang Guru milik Stafsus Presiden, Belva Devara ditunjuk sebagai salah satu mitra pelatihan online program kartu Pra-Kerja. Nilai proyek pelatihan mencapai 5,6 triliun.
Menurut Said Didu, pemberian proyek-proyek itu mengindikasikan ada upaya memanfaatkan kekuasaan di tengah pandemik Covid-19. Pemberian proyek ke perusahaan milik Stafsus Presiden jelas melanggar etika pejabat publik.
“Ini sangat telanjang memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan perusahaan orang Istana,” demikian kata Said.
Menurutnya, dalam jabatan etika itu posisinya di atas hukum.Seorang pejabat publik harus mampu menjaga mandat dari hal-hal yang bernuansa kepentingan pribadi.
“Etika itu di atas hukum, saya kasih contoh, saya kedatangan tamu saya penguasa kemudian menyewa mobil dari saudara saya, itu sudah melanggar etika. Pejabat publik itu diikat oleh dua hal hukum dan etika,” tegasnya.
“Kecuali bukan pejabat publik, kalau di luar ya nggak masalah silakan saja dapat proyek,” imbuh Said Didu.
Pelajaran dari Baharuddin Lopa
Baharuddin Lopa, pria kelahiran Mandar, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935 itu menjabat Bupati Majene saat baru berumur 25 tahun. Ia tidak segan berkonfrontasi dengan Komandan Batalyon 710 yang melakukan penyelundupan.
Bacharuddin Lopa juga dikenal sebagai penehak hukum yang memiliki integritas dan menjunjung etika. Sebelum menjabat sebagai Jaksa Agung sekaligus Menteri Kehakiman dan Perundang-udangan ia sudah malang melintang kejaksaan.
Ia mengawali kariernya sebagai Jaksa di Kejaksaan Negeri Makassar, Setelah menjabat Bupati Majene pada usia muda sekitar 25 tahun, ia menjadi Kepala Kejaksaan Negeri Ternate pada 1964. Kepala Kejaksaan Tinggi Aceh hingga pindah ke Kalimantan Barat pada 1974.
Ia sempat menjabat Kepala Pusdiklat Kejaksaan Agung RI (1976–1982), setelah itu menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (1982–1986).
Semasa aktif, ia dikenal tegas dan berani melawan kejahatan kerah putih. Ia menyeret Tony Gozal alias Go Tiong Kien dengan tuduhanmemanipulasi dana reboisasi Rp 2 miliar.
Baharuddin Lopa juga mengejar keterlibatan Arifin Panigoro, Akbar Tanjung, dan Nurdin Halid dalam kasus korupsi. Selain itu, ia pun berani mengusut kasus yang melibatkan mantan Presiden Soeharto.
Sangat berhati-hati dan cermat sudah menjadi kebiasaannya. Baginya, tak ada urusan sepele, termasuk soal bensin di mobil yang ia pakai
Suatu hari Lopa yang menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Lopa mengadakan kunjungan ke kabupaten di wilayah kerjanya. Dalam perjalanan pulang, ia tiba-tiba menyuruh supir untuk menghentikan laju mobil.
Ia bertanya kepada supirnya, “Siapa yang mengisi bensin?” Si ajudan pun dengan jujur menjawab, “Pak Jaksa, Pak!
Mendengar itu, Baharuddin Lopa menyuruh supirnya memutar mobil dan menuju kantor jaksa yang mengisikan bensin. Tiba di sana, Lopa meminta sang jaksa menyedot kembali bensin sesuai dengan jumlah yang diisikannya.
“Saya punya uang jalan untuk beli bensin, dan itu harus saya pakai,” kata Lopa.
Mudah-mudahan integritas dan etika pejabat yang dicontohkan lopa masih ada pada pejabat yang memerintah saat ini, termasuk kalangan milenial yang mendapat kesempatan untuk membantu berjalannya roda pemerintahan.
Penulis: Arief Setiyanto