IslamToday ID –Pandemi Covid-19 menyebabkan perekonomian tanah air terguncang. Industri tekstil merupakan salah satu yang merasakan dampaknya. Lebih dari jutaan buruh di Industri tekstil terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dirumahkan.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mencatat, sudah 2,1 juta buruh industri tekstil yang dirumahkan. Jumlah tersebut setara dengan 80 persen dari total pekerja Industri tekstil di tanah air.
“Market kita habis, baik untuk ekspor maupun lokal, anggota kami sudah menutup industrinya, karena kita lihat sudah 2,1 juta orang yang dirumahkan,” ujar Ketua Umum API, Jemmy Kartiwa Sastraatmaja (27/4/2020).
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada (1/5), sebanyak 2,9 juta tenaga kerja telah di PHK dan dirumahkan selama mewabahnya Covid-19 di tanah air. Sebanyak 2,9 juta tenaga kerja tersebut terdiri atas 1,7 juta orang yang sudah terdata dan 1,2 juta orang pekerja lainnya sedang proses pendataan.
Selain menghadapi masalah PHK, industri tekstil juga menghadapi masalah pendanaan operasional, sebab tidak ada pemasukan dari ekspor maupun pasar domestik. Tidak adanya pemasukan dari pasar domestik merupakan imbas dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Banyak departement store yang meminta penundaan pembayaran sejak Maret dan sampai sekarang belum dibayar.
Oleh karena itu Asosiasi Pertekstilan Indonesia meminta kepada pemerintah untuk memberikan stimulus kepada Industri tekstil dan produk tekstil (TPT). Stimulus tersebut bisa dalam bentuk penundaan pembayaran 50 persen tagihan listrik PLN. Asosiasi Pertekstilan Indonesia juga berharap ada penangguhan pajak penghasilan, untuk lembaga maupun pribadi dengan jangka waktu masing-masing enam bulan. Sebab, menurut Jemmy kas perusahaanTPT rata-rata akan kosong di bulan Juni nanti.
Sekretaris Eksekutif BPN API, Rizal Tanzil Rakhman, menambahkan, ada persoalan besar yang menghantui para pengusaha tekstil tanah air. Diperkirakan setelah wabah Covid-19 usai, Indonesia akan dibanjiri produk tekstil dan pakaian impor asal China.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), telah mencium gelagat tersebut. Setidaknya hingga Maret 2020 lalu di tengah-tengah situasi pandemi corona dan lesunya industri tekstil di tanah air ada 17 kontainer produk tekstil dari China masuk ke Indonesia.
“Tiongkok produksinya sudah kembali normal. Yang kami khawatirkan adalah stok mereka banyak, karena selama ini produk mereka tak terjual. Berarti akan ada ekspor besar-besaran termasuk ke Indonesia,” tutur Sekretaris Eksekutif BPN API, Rizal Tanzil Rakhman (20/3/2020).
Memburuk
Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI), menjelaskan bahwa, kondisi industri TPT sudah memburuk sejak tahun 2018. Sejak saat itu, neraca perdagangan ekspor dan impor tekstil tanah air berjalan tidak seimbang. Kondisi ini terjadi akibat dominasi produk impor.
Saat itu ekspor industri TPT hanya tumbuh 0,9% sementara impor industri TPT naik menjadi 13,9%, alhasil pertumbuhan nilai neraca perdagangan TPT melambat 25,6% sejak tahun 2008.
Penurunan neraca ekspor perdagangan ini semakin terasa setelah diterapkannya Permendag No.64/2017. Meskipun Permendag tersebut akhirnya direvisi dengan kehadiran Permendag No.77/2019, ternyata tidak memberikan jaminan bagi perbaikan industri TPT tanah air.
Dalam Permendag yang baru, pemerintah memberikan izin impor melalui Pusat Logistik Berikat (PLB), yang nantinya memberikan Persetujuan Impor (Pl). Namun, kebijakan pemberian PI oleh PLB memiliki celah tertentu yang justru dimanfaatkan oleh oknum importir nakal. Belum lagi mekanisme pemberian kuota impor produk industri TPT yang tidak transparan.
Sejak tahun 2008 industri tekstil Indonesia sudah mengalami penurunan surplus. Sebelumnya di tahun 2007 surplus industri TPT Indonsia mencapai US$ 7,8 miliar,. Kemudian turun secara perlahan-lahan sejak tahun 2008.
Pada tahun 2008 nilai surplus industri turun menjadi US$ 5,04 miliar. Dalam satu dekade berikutnya, di tahun 2018 nilai surplus industri justru merosot menjadi US$ 3,2 miliar.
Menurut data BPS pada kurun waktu 2016-2018 jumlah impor kain terus meningkat. Tahun 2016, impor kain tercatat sebesar 238.219 ton. Kemudian, tahun 2017 naik menjadi 291.915 ton, dan tahun 2018 naik cukup drastis menjadi 413.813 ton.
Negara-negara importir kain terbesar itu antara lain; China, Korea Selatan, Hongkong dan Taiwan. Dari deretan negara tersebut China dapat dikatakan yang paling merajai. Sebab, sebanyak 67,86% kain impor yang ada di Indonesia berasal dari China.
Butuh Perhatian Pemerintah
Pertengahan tahun 2019 Faisal Basri, Ekonom Senior INDEF sudah melontarkan kritik tajamnya. Ia menilai Presiden Jokowi kurang memberikan kepedulian terhadap industri tekstil Minimnya perhatian presiden membuat industri tekstil nasional berada pada posisi yang mengkhawatirkan. Trend neraca perdagangan tekstil menunjukan trend impor naik hingga 13,79% sementara trend ekspor hanya bertengger di 0,9% saja.
“Daya saing ekspor tekstil turun. Dan banyaknya impor tekstil dan produk tekstil yang masuk ke Indonesia, tentu mematikan industri tekstil nasional,”terangnya (25/7/2019).
Ia menambahkan hal lain yang membuat industri tekstil tanah air babak belur adalah terlalu banyaknya regulasi. Setidaknya ada 70 regulasi yang dinilai sangat membatasi pelaku industri. Seolah-olah industri tekstil pelaku utama pencemaran lingkungan.
“Ada 70 regulasi di industri tekstil. Wajar, mereka (pelaku industri) ngos-ngosan. Industri tekstil ini betul-betul nggak ada yang memperjuangkan. Di hulu hancur, di hilir hancur,”imbuhnya.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto