IslamToday ID – Indonesia ternyata memiliki empat kriteria negara penganut otoritarianisme. Wajah otoritarianisme itu tampak dari sejumlah kebijakan pemerintah, berikut sejumlah pandangan LSM seperti LP3ES dan YLBHI.
Pandangan ini disampaikan Direktur Center for Media and Democracy LP3ES, Wijayanto dalam webinar ‘Mimbar Bebas Demokrasi Melawan Oligarki’, Ahad (14/6/2020).
Ia merujuk pada empat ciri rezim politik otoriter yang disampaikan beberapa akademisi Universitas Harvard. Empat ciri itu adalah komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil.
“di Indonesia semua indikator itu ada,” kata Wijayanto.
Kriteria Negara Otoriter
Pertama, lemahnya komitmen terhadap aturan demokrasi tampak dari pelaksanaan Pemilu 2019. Ketika itu, ditemukan ketidaknetralan ASN oleh Bawaslu. Namun, tidak ada tindaklanjut bahkan sikap dari Kementerian Dalam Negeri.Selain itu muncul ggasan untuk memperpanjang masa pemerintahan presiden menjadi tiga periode melalui amandeman UUD 1945.
Kedua, penyangkalan legitimasi oposisi terlihat adanya campur tangan pemerintah terhadap konflik internal sejumlah partai beberapa partai. Misalnya, intervensi terhadap konflik Partai Golkar usai Pilpres 2014. Saat itu, Golkar dekat dengan Prabowo. Bahkan salah satu stasiun tv swasta yang dimiliki oleh elit Partai Golkar secara power full menyiarkan kemenangan Prabowo. Namun, secara tiba-tiba pada tahun 2016 Golkar menjadi partai pertama yang mendeklarasikan diri mendukung Jokowi untuk maju sebagai presiden pilpres 2019.
Ketiga, Toleransi terhadap kekerasan yang menjadi ciri bahwa Indonesia penganut otoritarianisme tampak dari kasus penembakan mahasiswa Universitas Halu Oleo, dalam gerakan #ReformasiDikorupsi. Dalam peristiwa ini Polri memang telah mengaku salah, namun hukuman pada pelaku penembakan terbilang sangat ringan. Pelaku hanya dihukum 21 hari penjara dan penundaan kenaikan pangkat selama 1 tahun.
Toleransi kepada kekerasan juga tampak dari proses hukum dalam kasus penyerangan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Jaksa hanya menuntut pelaku penyiram air keras satu tahun penjara. Tuntutan itu sudah mencederai rasa keadilan public.
Keempat, kriteria otoritarianisme yang ada di Indonesia ialah pembatasan terhadap kebebasan sipil. Misalnya dalam kasus kriminalisasi Ravio Patra, ancaman terhadap diskusi-diskusi akademik, termasuk diskusi soal pemakzulan presiden di UGM bebrapa waktu lalu.
Kebijakan Tanda Otoritarianisme
Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat, setidaknya ada 28 kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi sejak 2015 yang dianggap mencerminkan tanda-tanda otoritarianisme. Hal ini diamati YLBHI sejak tahun 2015 hingga 2020.
Kebijakan otoriter itu meliputi kebijakan ekonomi negara, kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat, kebijakan dwi fungsi pertahanan keamanan, serta kebijakan politik yang memperlemah partai oposisi. Selain itu, juga tercermin dari dwi fungsi pertahanan keamanan banyak kebijakan yang membuat TNI-Polri terlibat dalam pemerintahan..
“Pelibatan kembali aparat-aparat keamanan tidak hanya di bidang pertahanan dan keamanan tetapi juga di bidang politik, termasuk memberikan tempat di posisi yang tidak ada hubungan dengan keahlian utama dari orang-orang pertahanan dan kemanan ini,” ujar Ketua YLBHI Asfinawati dalam diskusi tersebut
Berikut 28 Kebijakan otoriter Presiden Jokowi menurut YLBHI antara lain;
- Membuat PP Pengupahan yang bertentangan dengan UU (2015)
- Memperlemah (Kemungkinan Adanya) Oposisi dengan Mengacak-acak Parpol melalui Melawan Hukum Putusan MA: Golkar (2015).
- Memperlemah (Kemungkinan Adanya) Oposisi dengan Mengacak-ngacak Parpol melalui Melawan Hukum Putusan MA: PPP (2016).
- Membiarkan Pembantunya Membangkang terhadap Putusan MK (2016).
- Membatasi Penyampaian Pendapat Di Muka Umum Melalui PP 60/2017 yang Bertentangan dengan UU 9/1998 (2017)
- Perppu Ormas Membubarkan Ormas Tanpa Pengadilan (2017).
- UU 5/2018 tentang Perubahan atas UU 15/2003 tentang Penetapan Perpu 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UndangUndang mengkaburkan batasan peran TNI dalam urusan pertahanan.
- Permendagri 3/2018 tentang tentang Penerbitan Surat Keterangan Penelitian/SKP (2018).
- Hak Tidak Memilih/Golput dijerat UU Terorisme dan UU ITE (2019).
- Penggunaan Pasal Makar oleh Kepolisian Secara Sembarangan.
- Melegalkan Kriminalisasi Pemilik Hak atas Tanah dengan Dalih Komponen Cadangan (2019).
- Mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Pertahanan.
- Mengembalikan Dwi Fungsi Aparat Keamanan: Polri.
- SK Menkopolhukam No. 38/2019 tentang Tim Asistensi Hukum (2019).
- Menyetujui SKB tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan Pada Aparatur Sipil Negara (2019).
- Pemberangusan Masif Hak Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (2019)
- Pemerintah memasukkan/setuju pasal makar, penghinaan presiden dan penodaan agama dalam RKUHP (2019)
- Operasi Militer Ilegal Di Papua (2019).
- Pemadaman Internet di Papua (2019).
- UU Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi Penelitian (2019).
- Mengabaikan Partisipasi Publik dalam Rencana Pemindahan Ibukota Negara (2019).
- Meminta BIN dan Polri untuk Menangani Ormas yang Menolak Omnibus Law (2020).
- Berkehendak Menjalankan Darurat Sipil (2020).
- Membiarkan Anak Buahnya Melawan Putusan MK untuk Mengkriminalkan “Penghina” Presiden (2020).
- Membangkang terhadap Putusan MA tentang BPJS (2020).
- Berkehendak Bisa Mengubah UU dengan PP (2020).
- Pemberangusan Hak atas Kebebasan Berpendapat (2020).
- BIN Ikut Campur Diskusi Di Kampus (2020)
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza