IslamToday ID — Aliansi Sebelas Maret Menggugat yang terdiri dari berbagai elemen mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta mengajukan mosi tidak percaya terhadap para anggota DPR dan juga Presiden Jokowi.
Pernyataan “Mosi Tidak Percaya” ini menanggapi hasil Sidang Paripurna DPR yang mengesahkan UU Omnibus Law pada Senin (5/10). Pengesahan UU tersebut pun mengundang kecurigaan apakah ada kepentingan lain yang mendesak pemerintah ?.
“Maka ketika RUU ini disahkan ini dipertanyakan karena memang kondisinya saya rasa tidak baik-baik saja. Karena, apakah ada kepentingan lain atau memang terburu-buru dalam mengesahkan undang-undang seperti ini,?” ujar Daffa Maulana, Humas Aliansi Sebelas Maret Menggugat dalam keterangan singkatnya kepada Islamtoday.id (6/10/2020).
Ia menambahkan latar belakang pembuatan Omnibus Law ialah menjadikan UU tersebut sebagai UU alternatif, solusi memudahkan kepentingan investasi. Namun, pada perkembangannya pembuatan UU tersebut justru menimbulkan pro dan kontra. Sebab keberadaan UU Omnibus Law dinilai menjadi masalah baru bagi kaum miskin kota, dalam hal ini para buruh.
Daffa menilai keberadaan UU Omnibus Law justru menambah masalah baru terkait angka kemiskinan. Ia pun mempertanyakan apa yang membuat para elite pemerintah yang menggap UU ini sebagai solusi.
“Kita pertanyakan atas dasar apa dan kenapa bisa menyimpulkan bahwa ini sebuah solusi padahal ketika kita lihat bahwa Rancangan Omnibus Law ini justru menjerumuskan ke dalam permasalahan yang nantinya dalam jangka panjangnya kemiskinan di Indonesia itu bertambah dan susah dalam mencari dunia (lapangan) pekerjaan nantinya,” tutur Daffa.
Daffa menyampaikan beberapa alasan penolakan pengesahan UU Omnibus Law.
Pertama, UU ini dinilai melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan.
Kedua, penyusunan RUU Omnibus Law memiliki kecacatan secara prosedur, sebab dilakukan secara tertutup dan tanpa partisipasi sipil dan mendaur ulang pasar inskonstitusional.
Ketiga. Satgas Omnibus Law bersifat elitis dan tidak mengakomodasi elemen masyarakat yang terdampak UU Omnibus Law.
Keempat, sentralisme kewenanagan kebijakan yang ditarik ke pemerintahan pusat yang mencederai semangat reformasi.
Kelima, ada celah korupsi yang melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat.
Keenam, perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat,
Ketujuh, percerpatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis dan kerusakan lingkungan.
Kedelapan, penerapan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legislasi upah dibawah upah minimum, upah per jam dan perluasan kerja kontrak atau outsourcing.
Kesembilan, pendidikan untuk menciptakan tenaga kerja murah bagi industri sejalan dengan masifnya investasi.
Kesepuluh, memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat , perempuan, anak, difabel, dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual.
Kesebelas, adanya kriminalisasi represi dan kekerasan negara terhadap rakyat sementara negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada penguasa, pengusaha.
Penulis: Kukuh Subekti