ISLAMTODAY ID — Pakar Hukum Pidana dan peneliti di Judicial Coruption Watch, Dr. Muhammad Taufiq mengkritik pernyataan Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol. Ahmad Luthfi. Pernyataan Kapolda Jateng yang berisi peringatan bernada ancaman yang ditujukan kepada kerumunan di tengah pandemi Covid-19 dinilainya sebagai tindakan totaliter negara.
Menurut Taufiq, hal ini terutama jika dirunutkan dengan pernyataan Presiden Jokowi bahwa negara tidak boleh kalah dari warga negara.
Taufiq mengungkapkan jika perintah yang diintruksikan oleh Kapolda Jawa Tengah ini benar-benar dijalankan maka negara Indonesia dinilai telah bertindak otoriter. Salah satu sifat otoriter negara ialah sikap represif yang ditunjukan oleh aparat penegak hukum dalam hal ini kepolisian. Dalam sejarah Indonesia penerapan hukum dengan sistem ini hanya diterapkan oleh penjajah.
“(Negara) totaliter itu hukumnya cuma satu, hukum represif. Hukum represif dari waktu ke waktu itu dipakai penjajah,” kata Muhammad Taufiq dalam keterangan persnya yang diterima ITD pada (21/12/2020).
Selanjutnya, Taufiq mengungkapkan bahwa telah terjadi kekeliruan diksi yang disampaikan oleh pemerintah, baik oleh presiden maupun oleh Kapolda Jawa Tengah.
Menurutnya, kesalahan diksi yang dikatakan oleh presiden dan Kapolda Jawa Tengah ini bahkan bernilai fatal. Dimana pernyataan keduanya dinilai telah menabrak hukum dan tidak menghormati hukum.
“Kalau kita memakai itu, kalau memakai diksi negara tidak boleh kalah oleh warga negara itu artinya negara yang menabrak hukum,” jelasnya.
Lalu perintah Kapolda Jawa Tengah yang mengulang kata tabrak dan bubarkan hingga tiga kali. Intruksi tersebut dinilai bertentangan dengan ketentuan yang diamanahkan oleh UUD 1945 dalam Pasal 28. Negara telah menjamin bahwa kemerdekaan berserikat berkumpul menyatakan pendapat baik dengan lisan maupun tulisan dijamin undang-undang.
Selain menabrak ketentuan dalam UUD 1945, intruksi tersebut juga bertentangan dengan Undang-undang (UU) No.26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Tidak hanya menabrak dua undang-undang Kapolda Jawa Tengah juga menabrak satu undang-undang lagi yakni UU No.9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
“Ini paling parah, negara tidak pernah membuat ini, maksudnya negara ini, yang membuat itu pemerintahan ini (Periode Presiden Jokowi) maksudnya. Yang membuat itu adalah (Presiden) Habibie, apa itu undang-undang (Nomor) 9 tahun 1998 yang menyebut tentang undang-undang penyampaian pendapat di muka umum,” tuturnya.
“Artinya (Presiden) Habibie itu seorang presiden cerdas dalam masa pemerintahannya 1.012 kali dia didemo nggak ada satupun yang dibubarin, apalagi dipukulin, ditangkap bahkan sampai mati tuh gak ada,” jelasnya.
Taufiq mengingatkan kembali tentang kewajiban negara terhadap rakyatnya. Negara harus melayani warga negaranya. Oleh karena itu, jika sampai tindakan represif ini dilakukan oleh negara, maka posisi rakyat harus menang. Untuk itu rakyat tidak boleh merasa takut dengan diksi-diksi tentang negara tidak boleh kalah dari rakyat serta diksi tabrak dan bubarkan.
“Itu sangat berbahaya tapi saya pesan kepada masyarakat jangan takut. Selaku peneliti senior Judicial Corruption Watch, kalau pemerintah hari ini tumbang semua pelanggaran itu harus dibawa ke peradilan umum dan peradilan,” pungkasnya.
Sebelumnya diberitakan Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol. Luthfi seperti dilansir dari viva (Ahad, 20/12/2020) mengintruksikan jajarannya di wilayah Polda Jawa Tengah untuk tidak ragu-ragu membubarkan kerumunan orang di tengah pandemi Covid-19.
Ia mengintruksi kepada seluruh Kapolres di Jawa Tengah agar bisa bersikap tegas kepada masyarakat yang melakukan kerumunan terutama menjelang libur natal dan tahun baru. Selain menggunakan sejumlah peraturan daerah yang ada, ia juga mengeluarkan pernyataan yang memuat diksi ‘bubarin’ dan ‘tabrak’.
“Apabila ada kumpulan masyarakat dan itu mengganggu apalagi mengancam jiwa terkait dengan COVID, perintah saya hanya tiga, satu tabrak bubarin, kedua sama tabrak bubarin. Kalau satu dua tidak bisa, yang ketiga tabrak dan bubarin,” tandas Irjen Pol Luthfi.
Penulis: Kukuh Subekti