(IslamToday ID) – Nomenklatur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tidak dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penanggulangan Bencana yang tengah digodok di Komisi VIII DPR RI.
Keputusan itu diambil oleh Panitia Kerja (Panja) Pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini. Menurut Risma, berdasarkan Surat Mensesneg tertanggal 26 Maret 2021, hal itu demi memberikan keleluasaan pengaturan kelembagaan BNPB di kemudian hari.
“Bahwal DIM (daftar inventarisasi masalah) Pemerintah atas RUU tentang Penanggulangan Bencana yang menyebutkan kelembagaan secara umum agar tetap dipertahankan guna memberikan fleksibilitas pengaturan kelembagaan BNPB yang adaptif, sesuai kebutuhan, dan dapat mengakomodir perkembangan di masa depan. Penguatan kelembagaan BNPB dalam RUU tentang Penanggulangan Bencana dapat dilakukan melalui penguatan tugas dan fungsi,” jelas Risma dalam Rapat Kerja bersama Komisi VIII DPR RI di kompleks Parlemen Jakarta, Senin (17/5/2021).
Menurutnya, kendati nomenklatur BNPB tidak tercantum dalam RUU Penanggulangan Bencana, bukan berarti akan melemahkan kedudukan lembaga itu dalam penanganan bencana. Dalam hal ini, penguatan BNPB sangat tergantung dari penetapan kedudukan lembaga dalam Peraturan Presiden (Perpres) yang nantinya sepakat tetap di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden.
“RUU tidak menyebutkan nomenklatur lembaga, tugas dan fungsi, namun mendelegasikan pengaturannya dalam Peraturan Presiden, hal tersebut untuk memberikan fleksibilitas pengaturan yang memudahkan dalam melakukan perubahan yang mungkin akan terjadi sesuai dengan kondisi dan perkembangan kebutuhan organisasi yang akan datang, sehingga organisasi kelembagaan penanganan bencana akan lebih adaptif dan responsif menyesuaikan dinamika perubahan yang terjadi,” jelas Risma seperti dikutip dari Liputan 6.
Menurutnya, dalam RUU itu juga tidak menyebutkan nomenklatur lembaga penanggulangan bencana di daerah, namun menggunakan nomenklatur perangkat daerah karena penataan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) merupakan kewenangan pemerintah daerah dan kedudukannya bertanggung jawab kepada kepala daerah.
Sementara itu, untuk penjabaran tugas dan fungsi, struktur organisasi, maupun tata cara pengangkatan kepala badan juga tidak dimasukkan dalam RUU Penanggulangan Bencana. Dijelaskan Risma, lebih tepat hal itu diatur dalam Peraturan Presiden.
“Mengingat perubahan-perubahan struktur dan tata laksana organisasi menjadi domain pemerintah, dalam hal ini presiden,” pungkasnya.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily menegaskan bahwa kelembagaan BNPB harus diperkuat dalam RUU Penanggulangan Bencana.
“Kami bersikeras bahwa BNPB justru harus diperkuat, karena selama ini penanganan bencana harus dilakukan badan khusus untuk komando, koordinasi, dan pelaksana penanggulangan bencana,” katanya usai rapat kerja Komisi VIII DPR dengan Kementerian Sosial seperti dikutip dari Republika.
Supermarket Bencana Alam
Ace mengatakan hal yang mendasari perlunya penguatan nomenklatur kelembagaan BNPB dalam RUU Penanggulangan Bencana yakni Indonesia merupakan “supermarket” bencana alam. Ditambah menghadapi situasi pandemi Covid-19 yang merupakan bencana kesehatan atau non-fisik, menurutnya, BNPB seharusnya menjadi penting untuk mengkoordinasikan kebijakan.
Namun, menurut Ace, hal itu ditanggapi Panja Pemerintah yang bersikukuh penanganan bencana cukup dilakukan oleh badan, sedangkan pengaturannya dikeluarkan Peraturan Presiden.
“Selain itu, di UU ini kami ingin memfokuskan aspek preventif dan mitigasi. Misalnya, longsor itu bisa diantisipasi potensinya, gempa dengan mengadakan simulasi gempa,” ujarnya.
“Kami pun menyebutkan secara eksplisit mengenai tata ruang, karena masih banyak bangunan di sempadan sungai, sehingga sering terjadi banjir,” tambahnya.
Ace mengatakan penanggulangan bencana juga merupakan tugas konstitusional yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, termasuk melindungi dari bencana. Ia meminta Mensos Tri Rismaharini sebagai wakil pemerintah agar berkonsultasi dan meminta arahan lebih lanjut, terutama tentang penguatan BNPB.
Rapat tersebut membahas sejumlah daftar inventarisasi masalah (DIM) dari rapat-rapat pembahasan antara Panja Pemerintah dan Panja Komisi VIII DPR RI terkait dengan masalah kelembagaan dan anggaran penanggulangan bencana.
Panja Komisi VII DPR RI mengusulkan agar nomenklatur lembaga BNPB tercantum dalam RUU Penanggulangan Bencana, serta alokasi anggaran penanggulangan bencana dapat disiapkan dalam bentuk dana siap pakai sebesar minimal 2 persen dari APBN.
Ace mengatakan dari sejumlah rapat yang diikutinya, belum ada titik temu mengenai dua masalah tersebut.
Anggota Komisi VIII DPR RI lainnya, Lisda Hendrajoni mengusulkan agar pemerintah memperkuat peran dan menambah anggaran BNPB.
Politikus NasDem dari Sumatera Barat ini memandang usulannya itu perlu agar BNPB lebih maksimal menangani suatu bencana alam hingga berdampak positif terhadap penanggulangan bencana di Indonesia.
“Komisi VIII mengusulkan penguatan BNPB. Kami melihat masih banyak kekurangan mulai dari perencanaan, sumber daya manusia, sistem kontrol dan informasi, serta penganggaran,” kata Lisda seperti dikutip dari Kompas.
Ia menilai peran BNPB dalam menangani bencana masih lemah, terutama dalam hal anggaran. Sehingga berakibat pada kurangnya sosialisasi di tengah masyarakat. “Padahal menurutnya setiap daerah memiliki potensi bencananya masing-masing,” terang Lisda.
“BNPB ini masih lemah terutama anggarannya, sehingga mengakibatkan kurangnya sosialisasi di tengah masyarakat, apalagi Indonesia ini kan rawan bencana,” tambahnya.
KNPI Khawatirkan Tingkat Koordinasi
DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) juga angkat bicara soal wacana penghapusan BNPB dalam RUU Penanggulangan Bencana.
“Dalam daftar isian masalah (DIM) RUU Penanggulangan Bencana yang diterima oleh DPP KNPI tentang kelembagaan pasal 10 dan 11 secara terang menerang pemerintah meniadakan BNPB sebagai Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dan akan menggantinya dengan suatu badan yang akan diatur tugas, fungsi koordiansi, komando dan pelaksanan teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah,” ujar Ketua Umum DPP KNPI Haris Pertama.
Menurutnya, dalam suatu konstitusi bernegara peranan kelembagaan atau badan yang diatur dalam suatu Peraturan Presiden akan sangat berbeda peranannya jika diatur dalam suatu undang-undang.
“Dalam hal ini DPP KNPI heran mengapa pemerintah mengubah hal yang sangat esensial ini. DPP KNPI menekankan seyogyanya pemerintah memperkuat fungsi BNPB dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, bukannya malah menghapus BNPB dan mereduksi fungsi serta koordinasi managemen kebencanaan,” kata Haris.
DPP KNPI menilai jika pemerintah menghapus BNPB, maka dikhawatirkan tingkat koordinasi, fungsi, dan dukungan teknis terhadap kebencanaan akan tidak maksimal.
Ia mengingatkan pemerintah harusnya lebih jeli terhadap kondisi kebangsaan hari ini, khususnya tentang kebencanaan. Bahwa lebih dari 2.000 kasus bencana alam dan non-alam terjadi setiap tahunnya di Indonesia.
“Tanpa suatu lembaga atau badan yang fokus menangani hal tersebut, pemerintah akan Gagap menangani setiap keadaan kebencanaan,” kata Haris.
Ia berharap pemerintah bisa merevisi dan memperhatikan kembali BNPB sebagai Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam RUU Penanggulangan Bencana. [wip]