(IslamToday ID) – Utang pemerintah Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Di akhir Mei ini, utang pemerintah mencapai Rp 6.418,15 triliun.
Utang ini naik Rp 1.159,58 triliun dibandingkan posisi Mei 2020 yang mencapai Rp 5.258,57 triliun. Kenaikan utang yang besar ini disebabkan oleh penanganan pandemi Covid-19 yang membutuhkan anggaran besar.
Adapun total utang pemerintah ini didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 86,94 persen dan pinjaman sebesar 13,06 persen. Secara rinci, utang dari SBN tercatat Rp 5.580,02 triliun dan utang melalui pinjaman tercatat Rp 838,13 triliun.
Namun, jika melihat ke belakang, tren kenaikan utang telah terjadi sebelum ada pandemi Covid-19. Bahkan sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi pada periode pertama lalu yakni 2014.
Utang pada saat awal Jokowi memimpin hingga saat ini mengalami kenaikan lebih dari dua kali lipat.
Pada akhir tahun 2014, utang pemerintah tercatat hanya pada angka Rp 2.608 triliun dan saat ini melonjak lebih dari Rp 6.000 triliun. Begitu pula dengan rasio utangnya.
Pada akhir 2014 rasio utang pemerintah berada di level 24,7 persen dan hingga akhir Mei 2021 meningkat menjadi 40,49 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika dibagi dengan jumlah penduduk Indonesia maka per orang menanggung beban dari utang pemerintah ini sebesar Rp 23,75 juta. Ini berasal dari utang yang telah menggunung mencapai Rp 6.418,15 triliun tersebut.
Sebagai informasi, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 270,2 juta jiwa. Jumlah ini berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020 lalu.
Utang yang semakin menggunung ini pun menjadi perhatian bagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Instansi audit keuangan negara ini khawatir pemerintah tak mampu membayar utang tersebut.
Kepala BPK Agung Firman Sampurna mengungkapkan tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara.
“Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” jelas Agung dalam Rapat Paripurna pekan lalu seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Senin (28/6/2021).
BPK melaporkan, realisasi pendapatan negara dan hibah di tahun lalu sebesar Rp 1.647,78 triliun atau mencapai 96,93 persen dari anggaran.
Sementara itu, realisasi belanja negara tahun lalu sebesar Rp 2.595,48 triliun atau mencapai 94,75 persen dari anggaran. Hal itu membuat defisit anggaran tahun 2020 dilaporkan sebesar Rp 947,70 triliun atau 6,14 persen dari PDB.
BPK juga mengungkapkan bahwa utang tahun 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR) yakni rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 persen melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 – 35 persen.
Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 – 6,8 persen dan rekomendasi IMF sebesar 7 – 19 persen. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369 persen melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 – 167 persen dan rekomendasi IMF sebesar 90 – 150 persen. [wip]