(IslamToday ID) – Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi yang juga Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Jawa-Bali Luhut B Pandjaitan mewanti-wanti kepada mereka yang berani mengatakan kasus Covid-19 di Indonesia tak terkendali. Tapi belakangan, seolah membatalkan omongannya sendiri, ia menilai Covid-19 di Tanah Air sulit dikendalikan.
Pernyataan Luhut yang pertama diungkapkan pada Senin (12/7/2021) lalu melalui konferensi pers yang disiarkan melalui akun YouTube Sekretariat Presiden. Melalui video itu ia bahkan siap menyodorkan data kepada mereka yang mengatakan Covid-19 di Indonesia tak terkendali.
Luhut awalnya berbicara panjang lebar mengenai perkembangan PPKM darurat di Jawa dan Bali. Setelah itu, ia berbicara mengenai ketersediaan obat-obatan hingga tempat tidur. Ia berharap kasus Corona sudah melandai dalam beberapa hari ke depan.
Barulah kemudian Luhut menyatakan kondisi Covid-19 di Indonesia terkendali. Jika ada pihak yang tak sepakat, Luhut meminta mereka menemuinya.
“Jadi kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadaannya, sangat-sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya, nanti saya tunjukin ke mukanya bahwa kita terkendali, jadi semua kita laksanakan,” kata Luhut seperti dikutip dari Detikcom.
Ia juga menegaskan Presiden Jokowi sudah memberikan arahan jelas terkait penanganan Covid-19. Semua kebijakan diputuskan secara terintegrasi.
“Jadi presiden memberikan directive sangat jelas dan presiden sekali lagi saya katakan in charge di semua ini dan kami sebagai pelaksananya tidak ada masalah. Semua kami putuskan secara terintegrasi, saya ulangi semua kami putuskan secara terintegrasi,” ujar Luhut.
Dalam paparannya soal perkembangan PPKM darurat, Luhut menargetkan kasus harian Covid-19 di Indonesia turun di bawah 30.000. Selain itu, ia berharap kasus corona mulai melandai pada pekan depan.
“Kita mencoba supaya betul-betul kalau bisa kasus ini jangan lebih dari 30.000-an, tapi dari tiga hari terakhir ini kita lihat sudah berkisar selalu bermain di antara 33, 34, 38 (ribu) mundur lagi seterusnya. Tapi kasus kesembuhan meningkat banyak kita lihat, jadi kami berharap minggu depan mungkin kalau semua sudah berjalan disiplin akan mulai flattening atau mulai akan merata, dan kemudian kita harap nanti cenderung akan terkendali,” ungkap Luhut.
Ia menjelaskan, semua itu bisa tercapai atas kerja sama dari semua pihak. Masyarakat diharapkan terus disiplin protokol kesehatan dan program vaksinasi terus digencarkan.
“Kita berharap juga dengan kedisiplinan kita semua dan program vaksin jalan, protokol kesehatan jalan, kombinasi ini, pematuhan tadi pada PPKM darurat kita akan bisa bertambah baik,” ujar Luhut.
Ia juga sudah memantau mobilitas dan aktivitas masyarakat di Jawa dan Bali selama periode 3-10 Juli 2021. Menurut Luhut, mobilitas masyarakat cenderung menurun.
“Seluruh Provinsi Jawa-Bali sudah menunjukkan penurunan mobilitas dan aktivitas masyarakat pada level 10-15 persen dari target kita sebenarnya 20 persen atau lebih. Implementasi di lapangan kami lihat semakin baik dan kami lihat satu minggu ke depan mobilitas kegiatan masyarakat juga semakin turun sesuai harapan kita,” ujar Luhut.
Sementara, seolah menampar muka sendiri, pada Kamis (15/7/2021), Luhut menyatakan corona varian Delta sulit dikontrol. Ini ditandai dengan meningkatnya kasus positif harian selama masa PPKM darurat.
Luhut pun meminta masyarakat memahami dan semakin meningkatkan kedisiplinan protokol kesehatan. “Saya mohon kita semua paham, dari varian Delta ini varian yang tidak bisa dikendalikan,” ujar Luhut saat konferensi pers virtual seperti dikutip dari Kumparan.
Ia menyatakan, varian Delta tak hanya menimbulkan lonjakan kasus corona di Indonesia. Ia menyebut negara-negara seperti Inggirs, Belanda, Amerika Serikat (AS), dan Thailand mengalami permasalahan yang sama.
“Jadi jangan kita melihat Indonesia saja yang kena. Itu Inggris kena, Belanda kena. Perdana Menteri Belanda kemarin minta maaf karena dia menyetujui lepas masker, beberapa waktu lalu yang sekarang naik eksponensial, Malaysia juga masih semua juga. Rusia, Thailand, dan sebagainya. Thailand dan AS sendiri juga mengalami kenaikan yang luar biasa,” jelas Luhut.
Dalam kesempatan itu, Luhut sekaligus meminta setiap pernyataannya mengenai penanganan Covid-19 tidak ditampilkan sepotong-sepotong.
“Jadi saya mohon kita enggak usah berpolemik membuat berita yang kontradiksi atau statement saya dipotong-potong. Kita ini menyelamatkan nyawa orang, makin banyak kita bikin berita tidak benar, makin stres orang, makin banyak orang meninggal,” pungkasnya.
Gaya Komunikasi Militer
Gaya komunikasi Luhut pun dikritik para pakar komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Indonesia (UI). Pemilihan diksi dan gaya komunikasi Luhut dinilai minim empati dan tidak tepat di tengah situasi krisis pandemi.
Pakar komunikasi dari Unair, Suko Widodo menilai nuansa militer masih mewarnai gaya komunikasi Luhut. Padahal, menurutnya, gaya komunikasi publik seperti itu sangat tidak cocok dalam situasi pandemi seperti saat ini, yang membutuhkan kesabaran dan empati terhadap kondisi masyarakat.
“Gaya instruktif tidak tepat untuk publik. (Gaya komunikasi Luhut) hanya cocok untuk organisasi yang berstruktur,” katanya seperti dikutip dari Republika, Kamis (15/7/2021).
Menurutnya, pemerintah memang harus memiliki sikap tegas. Namun, tetap dengan cara yang sabar dan berempati kepada situasi masyarakat. Suko melihat memang gaya komunikasi Luhut dalam menangani pandemi Covid-19 kerap menyangkal dan cenderung menantang. Padahal, dalam situasi kritis seperti pandemi ini diperlukan komunikasi yang meneduhkan.
“Komunikasi publik itu harus akurat. Karena publik ini beragam, maka mesti dipahami psikologi massa,” jelasnya.
Ia mengatakan, gaya komunikasi membimbing yang dilakukan pemerintah nantinya, bisa mengarahkan publik pada keyakinan yang sama. Alih-alih dari pemahaman yang kini selalu bersinggungan. “Jadi hindari diksi yang justru menentang publik,” tutur Suko.
Ia melanjutkan, jika ke depannya masih ada beda pemahaman, maka Luhut bisa menyampaikan pesan dengan empati. Hal itu dinilainya sangat penting, apalagi di tengah krisis dan upaya membangun kesadaran publik.
Ia mengingatkan jika pemerintah maupun Luhut masih memiliki gaya komunikasi seperti itu, dampaknya bisa sangat merugikan. Sebab, kondisi masyarakat dinilainya masih dalam keadaan bimbang. “Pemerintah butuh dukungan publik, sehingga harus menciptakan komunikasi yang meneduhkan,” ujar Suko.
Hal yang sama disampaikan guru besar komunikasi dari UI, Ibnu Hamad. Menurutnya, dalam situasi krisis seperti ini, pemerintah harus mengedepankan komunikasi krisis. “Komunikasi krisis dicirikan oleh penyampaian pesan dan atau informasi penanganan krisis,” ujarnya.
Ia melanjutkan, pesan atau informasi krisis itu bisa mencakup hal yang sedang dilakukan pemerintah. Termasuk apa saja yang sudah dicapai selama menangani krisis.
“Pada situasi krisis ini masyarakat pada bingung, kadang jengkel dan marah, maka pihak yang menangani krisis itu justru harus tenang dan memberikan solusi,” katanya.
Ibnu melihat gaya komunikasi Luhut selama ini cenderung menyangkal dan menantang terkait pandemi. Senada dengan Suko Widodo, Ibnu mengingatkan, jika komunikasi pertahanan yang berujung emosi terus dikedepankan, pemerintah akan kehilangan kepercayaan publik menyoal penanganan krisis.
“Karena itu, gaya komunikasi yang sifatnya defensif apalagi menyalahkan pihak lain mesti diubah menjadi gaya mendengarkan, menganalisis, dan memberikan jawaban solusi,” katanya.
Ia mencontohkan, keluhan dalam penanganan krisis pandemi selalu muncul. Salah satu contoh konkret dampaknya, lanjut Ibnu, adalah menyoal pembubaran kerumunan yang selalu dikaitkan dengan perniagaan. “Solusinya saat kerumunan dilarang, jual beli bisa diarahkan supaya take away,” pungkasnya. [wip]