(IslamToday ID) – Begawan ekonomi Rizal Ramli menilai ambang batas pencalonan (presidential threshold) adalah sistem yang salah namun disenangi partai politik (parpol). Kesenangan itu, karena adanya upeti atau mahar politik yang diterima dari calon pemimpin.
Pernyataan itu diungkapkan Rizal dalam peluncuran buku karya pemerhati politik M Rizal Fadillah berjudul “Rakyat Menampar Muka”, Kamis (19/8/2021).
Dikatakan Rizal, ambang batas yang dipatok 20 persen, membuat calon pemimpin mencari dukungan politik yang juga sulit didapatkan hanya dari satu partai politik.
“Kalau mau jadi bupati, gubernur, presiden harus bisa dapat dukungan 20 persen suara, biasanya perlu sekitar tiga partai,” kata Rizal seperti dikutip dari RMOL.
Lanjutnya, pada setiap tingkatan memiliki ongkos politik yang berbeda-beda. Termurah, di tingkat bupati dengan biaya minimal Rp 10 miliar per partai politik.
“Dalam praktiknya, partai-partai ini kan tinggal sewa aja, misalnya untuk jadi walikota 20 persen (butuh) tiga partai masing-masing Rp 10-20 miliar, biaya partainya itu Rp 60 miliar, jadi gubernur Rp 100-300 miliar, jadi presiden di atas Rp 1 triliun,” jelasnya.
Bagi Rizal, nominal rupiah yang tidak sedikit itu menjadi sumber kebahagiaan partai politik dan atas itu juga mengapa ambang batas pencalonan tetap dipertahankan, sekalipun bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.
“Partai-partai sangat senang dengan sistem threshold ini, karena mereka bisa terima upeti, terima setoran tanpa melakukan apa-apa,” katanya.
Hadir pembicara lainnya yakni ekonom Anthony Budiawan, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi, dan akademisi UNJ Ubedilah Badrun.
Buku Rakyat Menampar Muka dengan tebal sekitar 300 halaman tersebut berisi tentang kegelisahan atas situasi dan kondisi bangsa saat ini. Kegelisahan ditulis Rizal Fadillah dengan analisis sederhana namun tajam.
Rizal Ramli mengaku mengenal Rizal Fadillah tak lebih dari setahun belakangan. Namun baginya, tulisan Rizal Fadillah kontekstual dengan kondisi bangsa saat ini. “Idenya (Rizal Fadillah) itu kontekstual, topik yang dipilih yang lagi ramai atau sangat kontekstual,” katanya.
Di mata Rizal, tulisan Rizal Fadillah seakan membawa pembaca melihat kondisi bangsa dari bingkai yang berbeda.
“Ngikutin tulisan Rizal (Fadillah) ini kayak baca Indonesia dari angle berbeda, menarik, banyak ungkapan original. Jarang penulis yang bisa selalu kontekstual dengan bahasa cair, tapi konsisten dengan value keadilan, memperjuangkan kebenaran, dan kemakmuran,” tandas Rizal. [wip]