(IslamToday ID) – Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menilai pemakzulan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak sah jika ditinjau dari segi hukum tata negara.
Ia menyampaikan hal itu dalam agenda “Peringatan Haul Gus Dur ke-12 Hijriah” yang ditayangkan akun YouTube NU Channel, Ahad (22/8/2021) malam.
“Gus Dur itu jatuh sebenarnya adalah dari sudut hukum tata negara itu penjatuhannya tidak sah. Tetapi kan saya punya disertasi tentang politik hukum, kalau di dalam hidup bernegara itu hukum adalah produk politik. Kalau politik menghendaki ini, hukumnya tidak mendukung, politiknya itu membuldoser hukum. Itu bisa terjadi sampai sekarang,” kata Mahfud seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Ia yang sempat menjabat sebagai Menteri Pertahanan di era Gus Dur menerangkan kriteria presiden dapat dilengserkan termuat dalam Ketetapan MPR No III/MPR/1978, yakni dinyatakan sungguh-sungguh melanggar haluan negara.
“Apabila presiden benar-benar melanggar haluan negara diberi memorandum I agar memperbaiki (kebijakan). Kalau masih benar-benar melanggar haluan negara diberi memorandum II agar memperbaiki kebijakannya. Kalau sudah memorandum II masih melanggar lagi, MPR melakukan Sidang Istimewa untuk memberhentikan,” tutur Mahfud.
Namun, menurutnya, yang terjadi pada Gus Dur tidak demikian. Gus Dur dimakzulkan Sidang Istimewa MPR melalui kasus yang berbeda antara memorandum I, II, dan III.
Memorandum I dan II terkait dengan isu Buloggate dan Bruneigate yang menyatakan bahwa Gus Dur patut diduga melakukan penyalahgunaan.
Berbeda dengan Ketetapan MPR No III/MPR/1978 yang mengatur ‘sungguh-sungguh melanggar haluan negara’.
“Masuk memorandum II, selesai, enggak ada Sidang Istimewa untuk memorandum I dan II. Sidang Istimewa yang kemudian diangkat untuk kasus lain. Kasusnya itu karena Gus Dur memecat Kapolri (Surojo) Bimantoro dan menggantinya dengan Chaerudin Ismail. Nah, itu melanggar aturan memang,” ucap Mahfud.
Ia menjelaskan bahwa pergantian Kapolri tidak boleh dilakukan secara sepihak, melainkan harus dengan persetujuan DPR. Hal itu sebagaimana Ketetapan MPR No VII Tahun 2000. Meski begitu, ia menegaskan semestinya Gus Dur tidak langsung dijatuhkan karena ini kasus baru.
“Itu melanggar memang, tetapi ini pelanggaran baru, sehingga harus dimulai dari memorandum baru mestinya agar diperbaiki. Tapi, langsung pada waktu itu pecat, lalu hari Minggu Pak Amien Rais bilang besok sidang karena Gus Dur telah melanggar haluan negara. Bukan lagi soal Bulog, itu sudah hilang,” ungkap Mahfud.
Gus Dur dimakzulkan pada 23 Juli 2001. Pemakzulan dalam Sidang Istimewa MPR pada Senin petang itu menyatakan Gus Dur telah menyalahi haluan negara. Posisi Gus Dur sebagai kepala negara kemudian diserahkan MPR kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sosok Pemersatu
Terkait Gus Dur, Mahfud menilai ia adalah sosok pemersatu bangsa. “Setiap ada apa-apa, kalau bangsa ini mau pecah, lalu orang ingat konsepnya Gus Dur tentang kebersatuan dan toleransi,” ujarnya.
Ia lantas menceritakan situasi politik pasca reformasi atau tepatnya pada 1999. Ketika itu, ungkap Mahfud, PDIP sangat menginginkan Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI. Ketika itu ada klaim kelompok PDIP akan “memerahkan” ibukota dengan 1,5 juta orang.
Namun, di sisi lain, BJ Habibie mendapat dukungan dari kelompok Islam sehingga terjadi saling ancam antarkedua kelompok. Kelompok Islam ini, lanjut Mahfud, membalas seruan PDIP dengan akan “menghijaukan” Jakarta dengan 3 juta orang.
“Itu saling ancam, waktu itu kekhawatiran luar biasa. Ini siapapun yang jadi, apakah Habibie atau kah Mbak Mega, bangsa ini akan mengalami luka yang parah, di situlah Gus Dur muncul, kalau gitu jalan tengahnya ke Gus Dur,” tutur Mahfud.
Ia menilai Gus Dur sebagai orang yang cerdik. Sesaat setelah terpilih sebagai Presiden RI, Gus Dur menyatakan harus Megawati yang menjadi wakil presiden. “Di situlah kemudian negara ini selamat dari perpecahan,” pungkasnya. [wip]