(IslamToday ID) – Kasus mafia tanah yang menimpa keluarga dari artis Nirina Zubir tengah menjadi perbincangan hangat. Kasus itu terkait dengan pemalsuan sertifikat tanah dan menyeret asisten rumah tangga (ART) ibu dari Nirina Zubir.
Menanggapi kasus itu, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Mahbub Maafi Ramdhan mengatakan persoalan tersebut memiliki kaitan dengan amanah yang semestinya dipegang erat-erat.
Menurutnya, pada prisipnya amanah dalam Islam adalah salah satu tanda seseorang munafik atau tidak. Orang yang diberi amanah menjadi munafik ketika ia melanggar atau mengkhianati amanah tersebut.
Rasulullah SAW telah menjelaskan soal ciri-ciri orang munafik. Beliau bersabda, “Jika berkata selalu berdusta, jika berjanji selalu ingkar. Jika diberikan kepercayaan selalu berkhianat. Dan jika memusuhi melampaui batas.” (HR Bukhari)
Karena itu, Kiai Mahbub mengingatkan, amanah harus dijalankan sebagaimana mestinya. Bila amanah itu dilanggar, misalnya dengan mengambil hak orang lain dengan cara yang batil seperti menipu dan memanipulasi sesuatu yang dalam hal ini adalah surat berharga.
Allah SWT berfirman, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah ayat 188)
Dalam konteks kasus mafia tanah Nirina Zubir, Kiai Mahbub menyampaikan, seorang muslim dilarang melakukan atau memanipulasi sertifikat tanah yang bukan menjadi haknya, karena tanah itu hak pemilik dan ahli warisnya. “Apakah ART itu bagian dari ahli waris. Dari pemberitaan, dia bukan ahli warisnya. Lalu atas dasar apa dia itu bisa menguasai sesuatu yang bukan miliknya,” tuturnya seperti dikutip dari Republika, Senin (22/11/2021).
Kiai Mahbub juga mengingatkan, masalah yang menimpa keluarga Nirina Zubir ini memang terlihat sepele tapi sebetulnya tidak sesederhana yang dibayangkan. Sebab, memang sulit menemukan orang yang amanah.
Menurutnya, masalah tersebut menjadi pelajaran bagi banyak orang ketika memberikan amanah. Sebaiknya tetap berhati-hati terhadap orang kepercayaan yang diberikan amanah itu, untuk menghindari berbagai hal yang tidak diinginkan.
“Selama ini kita menganggap bahwa kita harus selalu berhusnudzon (berprasangka baik) karena perbuatan ini bagian dari ibadah. Tapi terkadang terhadap orang dekat pun tidak harus selalu berhusnudzon, dengan tetap berhati-hati meski terhadap orang dekat kita,” terangnya.
Kiai Mahbub mengungkapkan, terdapat kaidah fiqih yakni mencegah mafsadat (kerusakan) itu lebih didahulukan ketimbang menarik maslahat (kebaikan). Maka, sikap kehati-hatian dalam memberikan amanah ini diperlukan, apalagi jika yang diamanahkan itu menyangkut sesuatu yang berharga seperti sertifikat tanah.
Untuk menemukan orang yang amanah, lanjut Kiai Mahbub, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama dengan ikhtiar lahiriah, misalnya mencari informasi dari pihak lain mengenai orang yang hendak diberi amanah. Kedua, yang juga penting adalah ikhtiar batiniah, yaitu salat istikharah untuk mendapat petunjuk dari Allah SWT.
Namun, Kiai Mahbub mengatakan, salat istikharah ini sebaiknya dilakukan oleh orang lain yang sholeh. Tujuannya agar mendapatkan keputusan yang lebih mendekati objektif.
“Kalau kita yang melakukan salat istikharah, sering kali objektivitasnya kurang, karena biasanya kita sudah memiliki kecenderungan. Jadi cari orang lain yang kita anggap sholeh untuk mengistikharahi,” tuturnya.
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, “Rasulullah SAW mengajarkan kepada kami istikharah dalam memutuskan segala hal sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami surat dalam Al-Qur’an.” (HR Bukhari) [wip]