ISLAMTODAY — Ekonom Senior Universitas Indonesia, Faisal Basri menilai, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang rendah bukan karena permasalahan sedikitnya investasi.
Ia mengapresiasi Presiden Jokowi yang dapat mempertahankan pertumbuhan investasi pada level yang tinggi.
Menurut Faisal Basri, investasi yang masuk ke Indonesia tertinggi di ASEAN dan dari rata-rata negara berpendapatan menengah ke atas, serta menengah bawah. Namun, yang menjadi permasalahan adalah hasil investasi yang rendah/sedikit.
“Jadi ada sesuatu yang salah di republik ini, bukan hanya di era pak Jokowi saja. Pak Jokowi ikut meneruskan atau gagal untuk membalikkan nasib ekonomi Indonesia karena salah diagnosis. Jadi bukan karena investasi yang jeblok,” ujar Faisal seperti dikutip dari Youtube Bicaralah Buruh, Minggu (9/1).
Menurut Faisal, minat investor untuk berinvestasi ke Indonesia tidak berkurang. Bahkan, foreign direct investment (FDI) Indonesia tercatat masuk dalam Top 20 pada 2019.
“Investasinya banyak tapi hasilnya sedikit karena inefisiensi, salah fokus, high cost ekonomi, semua dikasih ke BUMN, tidak ada persaingan, korupsi dan sebagainya,” tandas Faisal, dilansir dari Kontancoid.
Menurutnya, Indonesia mesti melakukan transformasi ekonomi untuk memperbaiki kualitas hidup pekerja/buruh.
Transformasi ekonomi dari kegiatan ekonomi yang ekstraktif ke kegiatan ekonomi yang kreatif.
“Kalau ekonomi Indonesia masih mirip strukturnya dengan ekonomi jaman penjajahan, batubara dikeruk langsung jual, sawit dipetik langsung jual, hutan ditebang langsung jual, ya pasti tenaga kerjanya sedikit,” pungkasnya.
Ia juga menyoroti kegagalan sistem yang membuat seperlima penduduk usia muda menganggur. Padahal kelompok usia muda memiliki potensi yang besar, berpendidikan dan energik.
Lebih lanjut Faisal memproyeksikan ekonomi Indonesia di tahun 2022 masih lebih rendah pertumbuhannya dibandingkan dengan sebelum Covid-19. Berbeda dengan negara lain yang pertumbuhan ekonominya sudah mengalami pemulihan dan melewati posisi semula sebelum Covid-19. “Kita kemungkinan paling cepat 2023,” jelas Faisal.
Faisal menyebut recovery ekonomi Indonesia yang terlambat karena lemahnya jantung perekonomian yakni sektor keuangan. Ia menyoroti porsi kredit perbankan untuk swasta terhadap PDB.
“Industri tidak akan menggeliat kalau kredit perbankan buat sektor swasta cuma 38% dari PDB. Kalau di China 180%, di negara-negara ASEAN lainnya di atas 100%,” tandasnya.[IZ]