(IslamToday ID) – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan fenomena yudisialisasi politik jelang Pemilu 2024. Menurutnya, fenomena ini terjadi akibat absennya kemauan politik pemerintah dan DPR sebagai pembentuk undang-undang untuk merevisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu agar substansinya relevan dengan tantangan pemilu masa kini.
Keengganan merevisi UU Pemilu ini akhirnya membuat bangsa Indonesia menyerahkan aturan main pemilu kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan hal ini menyimpan sejumlah potensi masalah tahapan Pemilu 2024 di kemudian hari.
“Ada ketergantungan sangat besar pada hakim dan peradilan untuk menjawab kebuntuan pengaturan pemilu demokratis yang kesulitan dihadirkan karena UU Pemilu-nya tidak direvisi,” kata Titi dalam acara ‘Peluncuran Outlook 2023, Ritual Oligarki Menuju 2024’ yang digelar LP3ES, Ahad (29/1/2023).
“Putusan MK bisa hadir kapan saja. Ini diperkirakan akan terus berlanjut selama 2023 atau bahkan sampai awal 2024. Bahkan, selama 2024 karena di 2024 kita juga akan ada pilkada serentak secara nasional,” lanjutnya.
Titi menyinggung beberapa preseden pengaturan pemilu yang akhirnya ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena UU Pemilu seakan kebal revisi, misalnya soal pencalonan mantan narapidana korupsi sebagai anggota DPR atau DPRD.
Padahal, menurutnya, DPR seharusnya dapat membuat beleid ini melalui revisi UU Pemilu. Sebagaimana putusan MK yang melarang mantan napi korupsi mencalonkan diri sebagai kepala daerah sebelum 5 tahun bebas murni.
Titi juga mempersoalkan KPU RI sebagai penyelenggara pemilu yang diberikan wewenang untuk membuat peraturan. KPU disebutnya bisa menjadi pihak yang menyusun aturan progresif semacam itu. Namun, kenyataannya KPU bahkan hingga saat ini tak berani melarang eks napi korupsi mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
Sebab, putusan MK hanya menyangkut pasal pencalonan anggota DPR dan DPRD. Demikian juga soal hal lainnya, seperti penataan daerah pemilihan hingga penentuan sistem pemilu legislatif proporsional terbuka/tertutup, Semuanya kini ada di tangan MK akibat mandulnya pihak-pihak tadi.
“Perdebatan yang seharusnya hadir di gedung parlemen dibawa masuk di hadapan 9 hakim konstitusi. Sebagai ruang pengujian undang-undang memang tidak salah, tapi dalam ranah tertentu mestinya dilalui pembentuk undang-undang dan ada progresivitas yang seharusnya bisa dihasilkan KPU,” kata Titi.
“Akhirnya, dengan dalih kepastian hukum, menghindari perdebatan, ketidakpastian, justru berbondong-bondong pilihan untuk mendapatkan solusi itu diarahkan ke MK,” ujar pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI) itu. [wip]