(IslamToday ID) – Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang melarang hakim untuk tidak mengabulkan permohonan nikah beda agama bukan berarti negara mencampuri urusan pribadi atau ranah privat.
Menurut Arsul, surat edaran tersebut dikeluarkan sebagai panduan bagi hakim untuk memutuskan adanya permohonan pernikahan beda agama yang diajukan ke pengadilan.
“Kami di komisi memandang bahwa SEMA tersebut tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, juga tidak bisa dianggap sebagai alat masuknya negara dalam ranah privat warga negaranya,” kata Arsul dikutip dari Kompas, Sabtu (22/7/2023).
Wakil Ketua MPR ini berpandangan, tujuan SEMA yang pada pokoknya meminta hakim tidak mengabulkan adanya pernikahan beda agama telah sesuai dengan kesepakatan para pendiri bangsa. Sebab, aturan dan kebijakan yang ada di republik ini tidak boleh bertentangan dengan norma agama.
“Substansi yang diatur dalam SEMA tersebut yakni meminta Pengadilan Negeri tidak mengabulkan permohonan penetapan yang mengizinkan perkawinan beda agama adalah hal yang memang menjadi bagian dari kesepakatan bernegara kita yang dicapai oleh para pendiri bangsa dan negara ini,” papar Arsul.
“Nah sebagai bagian dari kesepakatan bernegara itu adalah tidak boleh ada di negara ini hukum atau kebijakan yang bertentangan dengan agama dan ini juga hakekat dari Pasal 29 Ayat 1 UUD NKRI Tahun 1945,” imbuhnya.
Diberitakan sebelumnya, MA mengeluarkan SEMA No2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan. Dalam SEMA ini, hakim dilarang untuk mengabulkan permohonan pencatatan pernikahan beda agama.
“Untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan,” demikian bunyi SEMA ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin, Senin (17/7/2023).
Dalam SEMA ini disebutkan, perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Hal ini sesuai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. “Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan,” tulis poin dua SEMA tersebut. [wip]