(IslamToday ID) – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie mengungkap enam faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas demokrasi di seluruh dunia terkhusus Indonesia.
Hal itu ia sampaikan dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar dengan judul “Kemunduran Demokrasi dan Rule of Law di Indonesia”. Jimly menerima gelar profesor kehormatan dari Melbourne Law School, Malbourne University, Kamis (27/7/2023).
Jimly mendapatkan gelar ini melalui Program Miegunyah Fellowship, salah satu program paling bergengsi di Australia.
“Ada enam hal yang melanda dunia yang berpengaruh dan ikut menentukan penurunan kualitas demokrasi di seluruh dunia, yang juga berpengaruh terhadap kinerja demokrasi dan negara hukum, khususnya di Indonesia,” kata Jimly dikutip dari Liputan 6.
Adapun keenam hal itu antara lain, munculnya gelombang rasialisme dan Islamophobia di seluruh dunia. Kedua, meluasnya ujaran kebencian, permusuhan, disinformasi, dan miskomunikasi di ruang publik. Ketiga, gejala deinstitutionalisasi politik.
Keempat, berkembangnya praktik benturan kepentingan antara bisnis dan politik. Kelima, munculnya kecenderungan baru dimana empat kekuatan yang saya namakan “macro quaru-politica” yang meliputi state, civil society, market, and the media bergerak ke arah genggaman satu tangan kekuasaan.
Terakhir, adanya ancaman Covid-19 yang dibajak dan disalahgunakan untuk membuat keputusan-keputusan kenegaraan yang tidak partisipatoris dan mengabaikan pentingnya prinsip deliberative democracy dan partisipasi publik yang substantif.
Jimly menyampaikan bahwa ruang publik di Indonesia didominasi oleh ujaran kebencian antar golongan yang meluas ke persoalan-persoalan identitas berdasarkan ras, etnis, dan agama dalam kontestasi politik.
Menurutnya, orang sulit membedakan antara kritik dengan kebencian yang mempribadi. Sehingga, banyak orang yang bersikap anti-pemerintah harus menghadapi proses hukum. “Hal ini tentu saja memperburuk kualitas demokrasi dan negara hukum dalam praktik,” ujarnya.
Ia mengatakan, aparat penegak hukum Indonesia telah mekakukan upaya untuk mengendalikan kebebasan di ruang publik, selama kurun waktu 9 tahun antara 2013-2021. Dalam hal ini, aparat penegak hukum memproses hukum sebanyak 393 orang warga berdasarkan ketentuan UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Mereka umumnya dikriminalisasi karena alasan menyalahgunakan kebebasan di media sosial dengan menyebarkan berita bohong, ujaran kebencian, dan sikap permusuhan di ruang publik. Namun efek samping dari tindakan represif ini, kata Jimly, warga menjadi takut untuk menyampaikan pendapat di ruang publik.
Tak hanya itu, Jimly menuturkan bahwa banyak pejabat publik yang menggunakan pasal-pasal karet dalam UU ITE itu untuk membungkam suara kelompok-kelompok warga yang kritis terhadap pemerintah.
“Menurut laporan SAFENet, 38 korban kriminalisasi pada tahun 2021 yang paling banyak adalah para pembela hak asasi manusia. Sekitar 26 persen dari korban kriminalisasi berasal dari latar belakang aktivis,” ungkapnya.
Jimly juga mengkritik pejabat negara di Indonesia yang merangkap sebagai pengusaha. Ia mengungkapkan saat ini lebih dari 50 persen pejabat negara di Indonesia merangkap sebagai pengusaha atau memiliki saham di perusahaan-perusahaan swasta.
“Khusus para anggota DPR RI saja pada periode 2019-2024 dewasa ini, tercatat lebih dari 60 persen adalah pengusaha atau memiliki saham atau menjadi pengurus perusahaan (direksi atau komisaris),” ungkapnya.
Bahkan, lanjut Jimly, banyak Aparatur Sipil Negara (ASN) yang juga merangkap jabatan komisaris di pelbagai perusahaan milik negara. Padahal, hal ini dapat menimbulkan benturan kepentingan antara politik dan bisnis ini.
Ia mengatakan hingga kini Indonesia belum menerapkan larangan konflik kepentingan, termasuk dalam relasi antara bisnis dan politik. Kondisi ini menyebabkan banyak pejabat negara yang tersandung praktik korupsi.
“Karena itu, praktik korupsi terus saja berkembang di mana-mana, padahal sikap anti-korupsi merupakan salah satu amanat terpenting dari reformasi nasional Indonesia 25 tahun yang lalu,” pungkas Jimly. [wip]