(IslamToday ID) – Pengamat hukum internasional Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana menilai klaim batas wilayah Republik Rakyat China (RRC) yang dipertegas melalui rilis peta baru mereka akhir Agustus 2023 lalu bukan sekadar dalam peta. Oleh karenanya, ia memuji pemerintah Indonesia khususnya Presiden Jokowi, yang berani tegas terhadap China meski Indonesia memiliki banyak hubungan ekonomi dengan negara tersebut.
“Indonesia bersahabat dengan semua, sampai saat kedaulatan kita diganggu. Oleh karenanya, jangan ganggu kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia,” kata Hikmahanto, Jumat (29/9/2023).
Ia menyampaikan hal itu dalam diskusi berjudul “Peta Baru China dan Ketegangan di Perairan Asia Tenggara” yang diselenggarakan oleh Forum Sinologi Indonesia (FSI) di Jakarta.
Selain Hikmahanto, diskusi juga dihadiri oleh Ketua FSI Johanes Herlijanto dan Muhammad Farid, Sekretaris FSI yang juga dosen Program Studi Hubungan Internasional pada President University, Cikarang.
Menanggapi dirilisnya peta baru China yang berisi klaim kepemilikan negara itu atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan (LCS), termasuk wilayah ZEE Indonesia di perairan dekat Natuna, Hikmahanto mendukung pemerintah Indonesia untuk tetap konsisten menolak klaim China yang ditandai dengan garis putus-putus itu.
“Sikap itu harus terus dipertahankan dengan melakukan tiga hal, pertama kita terus sampaikan bahwa sembilan garis putus-putus RRC, yang sekarang berkembang menjadi 10 itu tidak ada. Dan sebagai konsekuensinya, maka kita harus melakukan penegakan hukum bila nelayan RRC memasuki ZEE kita untuk mengambil ikan,” kata Hikmahanto.
“Kedua, kita harus melakukan pengabaian, bila RRC melakukan protes atas upaya ekplorasi dan eksploitasi kekayaan alam kita di wilayah ZEE kita tersebut. Dan ketiga, pemerintah Indonesia jangan pernah menginisiasi perundingan untuk wilayah yang tumpang tindih itu, karena di mata Indonesia, klaim kewilayahan RRC di Perairan Natuna Utara tidak ada,” lanjutnya.
Guru besar UI itu menjelaskan bahwa klaim kepemilikan LCS oleh China yang ditandai dengan garis putus-putus itu merupakan klaim sepihak (unilateral) yang menurut mereka didasari oleh faktor sejarah.
“Mereka berargumen bahwa nelayan-nelayan China pada masa lalu telah melakukan penangkapan ikan sampai ke wilayah yang ditandai oleh garis putus-putus itu,” jelasnya.
Menurut Hikmahanto, Indonesia pun pernah melakukan klaim unilateral, yang berdasarkan alasan keamanan, yang dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
“Indonesia memperjuangkannya melalui upaya diplomatik di forum-forum internasional, sehingga sikap Indonesia diterima oleh komunitas internasional, bahkan diakui dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut,” jelasnya.
Berbeda dengan Indonesia, menurut Hikmahanto, China tidak berhasil membuat klaimnya memperoleh dukungan internasional. “Selain itu, klaim tersebut menjadi prematur karena direspons dengan protes oleh negara-negara yang wilayah kedaulatannya tumpang tindih dengan klaim China tersebut, seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, dan Brunei,” lanjutnya.
Hikmahanto juga menjelaskan bahwa berbeda dengan negara-negara di atas, Indonesia tidak memiliki klaim tumpang tindih kedaulatan dengan China. “Tetapi garis putus-putus RRC menerabas hak berdaulat Indonesia, yaitu perairan internasional yang menjadi ZEE kita di Perairan Natuna Utara,” terangnya.
“Jadi kalau RRC mengatakan bahwa mereka tidak ada masalah dengan kepemilikan Indonesia atas Kepulauan Natuna, kita tidak boleh terkecoh, karena memang yang mereka klaim adalah wilayah ZEE kita di perairan dekat kepulauan itu,” lanjutnya.
Hikmahanto menilai manuver China di wilayah LCS, termasuk di ZEE Indonesia di perairan Natuna, semakin hari semakin agresif. Menurutnya, ini karena semakin banyak penduduk China yang membutuhkan lebih banyak kekayaan alam, seperti migas dan lain lain.
Selain itu, kekuatan militer dan ekonomi China sekarang makin kuat. Oleh sebab itu mereka makin agresif. Ia mengimbau pemerintah Indonesia waspada terhadap makin agresifnya China di LCS, khususnya di ZEE Indonesia itu.
“Klaim wilayah RRC jangan dianggap sekadar peta. Dalam hukum internasional, peta tersebut harus ditambahkan dengan kehadiran fisik. Itulah sebabnya RRC berupaya hadir di wilayah LCS, termasuk perairan dekat Natuna. Memang berdasarkan hukum internasional kapal perang mereka tidak boleh hadir, oleh karena itu mereka mengirim nelayan-nelayan mereka dengan dikawal oleh kapal-kapal penjaga pantai mereka,” pungkasnya. [wip]