(IslamToday ID) – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai utang yang dimiliki negara akan berpengaruh terhadap perekonomian. Terlebih apabila tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan dari sektor pajak.
“Memang harus fair juga membandingkan bahwa kalau secara nominal pasti meningkat, utang. Karena kita selalu berutang tapi yang harus kita lihat ekonomi kita mampu gak membayar utang. Kalau kita lihat Rp 8.400 triliun itu kesannya besar sekali, tetapi pembaginya kan ini ekonomi apakah aman atau tidak. Ketika menunjukkan rasio utang semakin tinggi terhadap PDB berarti ruang gerak kita semakin terbatas. Beban itu yang kemudian harus kita lihat,” kata Tauhid dikutip dari YouTube Akbar Faisal Uncensored, Senin (15/1/2024).
“Masalahnya ada utang lain yang harus kita tanggung dan itu membuat porsi pemerintah hanya bertanggung jawab separuh. Padahal kalau yang swasta yang separuh mau dikemanakan di ekonomi? Ini kan kemudian menjadikan tidak aman,” lanjutnya.
Kedua, ia menyebut mengenai risiko jumlah nominal utang. Apakah utang bertambah sejalan dengan pendapatan pajak kita. Kalau utang negara bertambah hingga dua kali lipat sementara tidak seiring dengan peningkatan pajak, maka itu akan sangat berisiko.
“Dikatakan berisiko kalau peningkatan pajak ini tidak mampu (digunakan) untuk membayar utang. Yang terjadi sampai hari ini kita terjebak dengan debt trap (perangkap utang),” terangnya.
Tauhid lantas mundur pada tahun 2004 di mana Indonesia harus berutang sekitar Rp 585 triliun, sementara di tahun 2003 Indonesia harus membayar pokok dan bunga utang sebesar Rp 400-an triliun.
“Mungkin 2024 pembayaran bunga utangnya akan semakin tinggi. Kita masuk jebakan utang ketika nilai pokok nominal kita semakin tinggi, dan kita harus membayar bunga utang yang semakin besar,” paparnya.
Jeratan utang ini, menurutnya, tidak akan mudah untuk diselesaikan karena apabila membayar bunga utang dengan utang baru seperti yang saat ini terjadi dapat mengakibatkan tersanderanya APBN. “Dan ini sudah terjadi,” ujarnya.
Apabila ini terjadi dalam waktu yang panjang (utang), maka akan berdampak pula kepada suku bunga kita yang tinggi, karena surat berharga negara (SBN) kita harus membayar bunga utang yang tinggi 6-7 persen. [ran]