(IslamToday ID) – Koordinator Aksi Aliansi Pemuda Indonesia (API) Salman Alfarisy mengatakan Pemilu 2024 berpotensi menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan pemilu Indonesia ke depan. Pasalnya, apabila mengacu pada ketetapan MPR RI No XIV/MPR/1998, proses pemilu wajib dilaksanakan berlandaskan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil), namun tidak ada dalam Pilpres 2024 lalu.
Catatan hitam Pemilu 2024 tersebut disuarakan API dalam aksi demonstrasi yang berlangsung di depan Balaikota Solo, Jumat (22/3/2024).
“Salah satu pelanggaran yang berkaitan dengan pemilu kali ini adalah putusan MK tentang batas usia capres-cawapres yang penuh kejanggalan. Sebelumnya, berdasarkan Pasal 169 huruf q UU Pemilu, batas usia capres-cawapres adalah minimal 40 tahun. Masih berkaitan dengan putusan MK terkait batas usia capres dan cawapres, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan pada 5 Februari 2024 bahwa komisioner KPU RI terbukti telah melanggar etik karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu cawapres,” kata Salman dalam rilisnya, Sabtu (23/3/2024).
Dengan lolosnya Gibran sebagai cawapres, API menilai pelanggaran etik terbukti telah dilakukan para komisioner karena tidak mengindahkan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan revisi aturan prosedur terkait syarat calon presiden dan wakil presiden pasca terbitnya putusan MK No 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat pencalonan presiden dan wakil presiden.
Catatan hitam selanjutnya yakni adanya potensi abuse of power dan mal administrasi dalam pengangkatan penjabat kepala daerah.
Mengacu pada UU No 23 Tahun 2014, pengangkatan penjabat (Pj) kepala daerah pada masa transisi menjelang Pilkada serentak ini kemudian dilakukan oleh presiden (untuk gubernur) dan Menteri Dalam Negeri (untuk bupati/walikota), namun tetap pengangkatan pejabat kepala daerah harus dilakukan secara transparan, jelas, dan tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi.
“Sepanjang 2022–2024, Presiden Jokowi telah melakukan pengangkatan Pj gubernur di 23 provinsi di seluruh Indonesia. Selain itu, melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Indonesia, Tito Karnavian, presiden juga berpengaruh besar dalam penunjukan total 182 Pj bupati atau walikota. Sayangnya, penunjukan Pj kepala daerah ini diduga dilakukan secara sepihak dan tidak transparan,” paparnya.
Kemudian adanya dugaan politisasi bansos menjelang pemilu. Anggaran bansos pada tahun 2024 mencapai Rp 496 triliun, melebihi anggaran yang pada masa pandemi Covid-19.
“Perlu dipahami bahwa bansos merupakan langkah cepat untuk mengayomi masyarakat yang kurang mampu. Namun, tingginya anggaran yang disediakan membuat timbul dugaan motif politik tertentu. Hal ini dibuktikan dengan video yang beredar, menampilkan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan pada tanggal 16 Desember 2023 lalu yang menyampaikan bahwa bansos tersebut merupakan pemberian Presiden Jokowi, peserta diminta mendukung Gibran dalam Pilpres 2024 sebagai putra Jokowi,” katanya.
“Hal serupa juga terjadi pada saat penyaluran bansos 16 Januari 2024, di mana Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto meminta para penerima untuk berterima kasih kepada Presiden Jokowi,” lanjutnya.
Catatan terakhir yang menjadi sorotan API adalah ketidaknetralan penyelenggara negara atau aparat pemerintah di dalam pemilu. Netralitas aparat menjadi sorotan setelah asosiasi kepala desa dan unsur perangkat desa diduga terlibat dalam mobilisasi dukungan terhadap pasangan capres-cawapres tertentu. Sinyal tersebut terlihat ketika mereka menggelar acara bertajuk “Silaturahmi Nasional Desa 2023” di Indonesia Arena, Jakarta, Ahad (19/11/2023), yang dihadiri oleh salah oleh Gibran Rakabuming Raka.
“Tentu tindakan tersebut tidak memperlihatkan etika politik yang baik, bahkan menurunkan kualitas demokrasi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Tak hanya perangkat desa, netralitas aparat TNI-Polri juga sempat menjadi sorotan menjelang Pemilu 2024,” pungkasnya. [ran]