(IslamToday ID) – Ahli hukum pidana asal Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Wibowo mendorong pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset. Ia juga mendukung langkah Kejaksaan Agung (Kejagung) memiskinkan para koruptor.
Berdasarkan temuan Lembaga Survei Indonesia (LSI) bahwa sebanyak 39,9 persen masyarakat mendukung Kejagung memiskinkan koruptor.
“Masyarakat juga perlu mendorong agar RUU tersebut segera dibahas dan disahkan. Sudah sejak Mei 2023, presiden sudah mengirimkan Surat Presiden (Supres) RUU Perampasan Aset kepada DPR, namun sampai sekarang belum kunjung dibahas,” kata Ari dikutip dari Republika, Rabu (24/4/2024).
Menurut Ari, dalam teori kriminologi dikenal dua jenis kejahatan. Yaitu kejahatan kerah biru atau blue collar crime dan kejahatan kerah putih atau white collar crime. Jika dilihat dari karekteristiknya, korupsi merupakan kejahatan kerah putih. Karena perbuatannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang kasar. Bahkan pelakunya merupakan pejabat, memiliki profesi, atau kedudukan tinggi secara politik atau ekonomi.
Lebih lanjut, Ari menilai pelaku kejahatan kerah putih ini adalah makhluk rasional yang selalu memikirkan cost and benefit sebelum melakukan kejahatan. Artinya, jika cost-nya lebih besar, maka dia enggan melakukan kejahatan.
Namun sebaliknya, jika cost-nya terjangkau maka tanpa ragu dia akan melakukannya. Disebutnya tujuan perbuatannya dapat dipastikan untuk memperoleh keuntungan finansial.
“Oleh karena itu, pidana yang paling memiliki efek penjeraan (deterrent effect) adalah pidana finansial (monetary punishment). Koruptor akan lebih takut rugi secara finansial dibanding dipenjara atau kehilangan kebebasannya untuk waktu tertentu,” ungkap Ari.
Selain itu, katanya, dari sisi efisiensi, secara finansial negara juga tidak akan rugi. Kemudian dari sanalah muncul gagasan sanksi pemiskinan bagi koruptor.
Menurut Ari, sebenarnya pidana finansial dalam Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah cukup memadai. Yaitu adanya perampasan barang, uang pengganti, penutupan perusahaan, dan pencabutan hak-hak tertentu. Belum lagi ditambah pidana pokok berupa denda.
“Hanya saja masalahnya ada pada penegakannya. Hakim menjadi penentu jenis dan bobot pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi. Setelah itu, problem berikutnya pada eksekusinya oleh kejaksaan,” ungkap Ari.
Sebagai contoh pidana uang pengganti saja, sambungnya, yang selama ini minim sekali yang bisa dikembalikan ke negara. Tahun 2021 hanya sekitar 2 persen yang berhasil dieksekusi oleh kejaksaan. Dalam kasus korupsi PT Jiwasraya dari kerugian sekitar Rp 16 triliun sampai saat ini yang berhasil dirampas hanya Rp 3 triliun.
Penyebabnya karena belum ada regulasi yang memadai terkait dengan perampasan aset. Tanpa regulasi tersebut, pidana pemiskinan koruptor akan sulit terealisasi dan negara akan terus dirugikan dalam berbagai aspek akibat korupsi yang masif.
“Jadi, kalau pemerintah punya komitmen dalam pemberantasan korupsi, maka mestinya dibuktikan dengan percepatan pembahasan dan pengesahan RUU Perampasan Aset yang isinya sudah cukup komprehensif mengatur semua tahapannya,” pungkas Ari. [wip]