ISLAMTODAY ID—Salah satu tantangan bagi umat Islam di Indonesia memasuki abad ke-20 ialah krisis ekonomi dan rendahnya kesejahteraan. Situasi itu pun direspon dengan keluarnya kebijakan politik etis (Belanda), dan jihad ekonomi oleh Haji Samanhudi.
Jihad ekonomi yang dilakukan Haji Samanhudi dilakukan dengan mendirikan Sarekat Islam (SI) yang semula bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 16 Oktober 1905. Sebuah organisasi ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat Islam.
Koperasi Sarekat Islam
Tujuh tahun kemudian tepatnya pada tahun 1912, keberadaan mereka menjadi makin besar. hingga terbentuklah Koperasi SI. Jatuh bangun mengelola Koperasi SI itu sangat dirasakan oleh para tokoh-tokoh SI terutama Haji Samanhudi pada periode 1912-1913.
Kehadiran koperasi juga diikuti dengan banyaknya berdiri toko-toko besar muslim di berbagai tempat di Solo. Terutama di kawasan Keprabon hingga Mangkunegaran, yakni Toko Djaksonegaran, dan Toko Pangoelon.
Sejumlah pengusaha muslim Solo pun ikut bergabung membesarkan Koperasi SI, seperti Haji Mohammad Sadjad ikut menyumbang dana sebesar 1000 gulden. Selain itu ada Haji Abdul Fatah dan R.Ng. Wiromintargo ikut menyumbang dana hingga 5000 gulden.
Keanggotaan Koperasi SI tidak hanya terbuka bagi kalangan individu saja melainkan organisasi lokal lainnya di Solo pun ikut bergabung. Salah satunya Perkumpulan Budi Sampoerno yang turut menyumbangkan dananya senilai 2000 gulden.
“Kegiatan semacam ini terus berlanjut sampai ini pada tahun 1913, dan Koperasi SI sendiri dikelola oleh pegawai kepatihan Surakarta,” kata Adhytiawan Suharto dalam bukunya Sarekat Islam Surakarta 1912-1913.
Setidaknya ada delapan toko milik Koperasi SI yang sangat berpengaruh di Solo seperti yang ditulis oleh Residen Surakarta, Van Wijk kepada Gubernur Jenderal, Idenburg pada 24 Mei 1913. Setiap toko menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat sehari-hari seperti roti, aneka makanan, beras, sembako hingga jual-beli kayu.
Adhyt mengungkapkan keberadaan toko-toko tersebut menjadi saingan utama para pengusaha Tionghoa. Mengingat omzet harian mereka yang cukup tinggi hingga 100 gulden.
Solidaritas para anggota SI begitu solid hingga membuat mereka berani memboikot took-toko milik Tionghoa. Banyak dari mereka kemudian menjadi pelanggan setia took-toko milik Koperasi SI.
“Para pribumi yang sudah menjadi anggota SI kemudian menjadi pelanggan tetap dan mereka hanya jual-beli antar sesama anggota Sarekat Islam,” tutur Adhyt.
Modal Usaha Koperasi
Haji Samanhudi menjadi tokoh sentral di balik perkembangan toko-toko, anggota Koperasi SI. Ia sering kali membantu memberikan modal usaha untuk pendirian toko-toko.
Sebenarnya upaya untuk mendatangkan bantuan modal oleh pengurus SI kepada pemerintah kolonial Belanda telah sering diupayakan. Namun pengajuan permohonan bantuan modal sering kali ditolak oleh pihak Residen Surakarta.
“Dalam laporan Van Wijk menyatakan bahwa permohonan atas bantuan modal ekonomi dari anggota SI Surakarta sangat banyak,” ungkap Adhyt.
“…permohonan itu tidak memenuhi persyaratan hukum, selain itu Pengurus SI tidak memiliki advokat khusus untuk mengurus masalah modal tersebut,” jelasnya.
Alasan lain yang juga digunakan oleh Belanda untuk menolak memberikan bantuan modal kepada Koperasi SI ialah lantaran riwayat hukum pengurus SI. Seperti yang terjadi pada Sekretaris SI, R. Djojomargoso dan R. Marthodarsono yang dinilai terlibat dalam kasus pencurian uang dan kasus pemalsuan.
Pada saat yang sama, Belanda juga terkesan membatasi gerak SI. Residen Surakarta melarang SI untuk merekrut anggota baru sebagaimana kebijakan Gubernur Hindia Belanda pada Juni 1913.
Belanda sangat khawatir dampak dari semakin banyak keanggotaan SI akan semakin besar pula kekuatan umat Islam. Salah satunya Belanda khawatir akan munculnya kesadaran untuk tolong-menolong antar sesama umat Islam.
Rangkul Buruh hingga Priyayi
Jalan perjuangan SI tak pernah berhenti, ketika mereka dihambat untuk mendapatkan modal usaha oleh pihak kolonial. Mereka tetap bergerak melakukan sejumlah terobosan.
Pasca Kongres Pertamanya pada Maret 1913, SI semakin mantap langkahnya. Tokoh-tokoh SI terus bergerilya mencari simpati dan dukungan dari berbagai kalangan umat Islam, terutama di pedesaan. Hal inilah yang dilakukan oleh R.Djojorahardjo ketika di Trucuk dan Pedan.
Terbentuknya SI di Trucuk dan Pedan membuat para anggota SI yang mayoritas dari para kuli perkebunan menjadi makin kuat solidaritas persaudaraannya. Bahkan mereka aktif dalam kegiatan sedekah untuk keperluan dakwah SI.
Pergerakan SI pada periode Mei 1913 memang cukup masif. SI berhasil merangkul para priyayi lokal untuk terlibat aktif membangun jaringan ekonomi di kawasan Solo-Raya baik dari Klaten, Boyolali, Sukoharjo hingga Sragen.
Perjuangan para tokoh-tokoh SI dalam membangun solidaritas umat Islam di Solo sangat berhasil, salah satunya di Sukoharjo. Hingga tahun 1914 sebanyak 500 priyayi di Sukoharjo masuk dalam keanggotaan SI.
“Pada 1914, SI sudah menjadi organisasi besar, sehingga larangan dari residen tidak sekuat pada 1912, pada masa awal kemunculan SI,” ujar Adhyt.
Adhyt menambahkan kisah perjuangan jatuh bangunnya para pengurus SI yang disampaikan oleh Haji Samanhudi. Haji Samanhudi dalam pidatonya pada Kongres kedua SI di Solo, pada 18 April 1914 mengingatkan tentang tahun-tahun terberat SI pada 1912.
Penulis: Kukuh Subekti