ISLAMTODAY ID— Siapa bilang dunia kyai hanya seputar pesantren dan santri? Dalam diri sosok KH Masjkur kita akan melihat bahwa kyai bisa memimpin perang sekaligus menjadi tokoh politik dan pemerintahan.
Kematangannya dalam berjuang tidak bisa dilepaskan dari riwayat pendidikan pesantrennya. Sejak kecil ia mulai aktif melakukan pengembaraan intelektual.
KH Masjkur telah bertemu, berdiskusi dan belajar dengan berbagai bidang ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa. Beberapa pesantren yang sempat disinggahinya diantaranya Pesantren Bungkuk, Singosari Malang; Pesantren Sono Buduran, Sidoarjo; Pesantren Panji Siwalan, Sidoarjo; Pesantren Tebuireng, Jombang, Pesantren Kyai Cholil Bangkalan, Madura; dan Pesantren Jamsaren, Solo.
Pendidikan
KH Masjkur memulai kiprah perjuanganya dengan mendirikan sebuah madrasah yang diberi nama madrasah Misbahul Wathan atau Pelita Tanah Air. Madrasah khusus putera dan terletak di Singosari, Malang itu dirikan pada tahun 1923.
Berjuang di ranah pendidikan pada era Hindia Belanda bukanlah hal yang mudah. Pemerintah kolonial senantiasa menghalang-halanginya.
KH Masjkur yang juga aktif dalam komunitas diskusi milik KH Wahab Hasbullah, Taswirul Afkar itu atas saran KH Wahab Hasbullah mengganti namanya menjadi Nahdlatul Wathan. Nahdlatul Wathan Malang pun akhirnya menjadi cabang Nahdlatul Wathan Surabaya milik KH Wahab Hasbullah.
Perjuangannya di bidang pendidikan terus dilanjutkannya baik ketika ia masih aktif sebagai Menteri Agama (Menag) maupun setelah ia pensiun dari pemerintahan. Bahkan beberapa tahun sebelum ia wafat pada tahun 1992, di tahun 1990 ia tergabung dalam Dewan Kurator Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta.
Pada masa menjadi Menag ia mengeluarkan sejumlah kebijakan khusus untuk pendidikan Islam. Misalnya Peraturan Menteri Agama (Permenag) No.2/1948 tentang bantuan kepada perguruan agama.
Militer
Kiprah perjuangan KH Masjkur yang selanjutnya ialah di bidang militer. Ia termasuk dalam tokoh pencetus berdirinya Pembela Tanah Air (PETA) pada 3 Oktober 1943.
Saat itu ia dan sembilan orang ulama/ kyai di Jawa, KH Adnan, Buya Hamka, H. Mansur, H. Cholid, KH Abdul Madjid, H. Jacob, KH Djunaedi, H. Mochtar dan H. Mohammad Sadri mengajukan permintaan kepada Jepang agar dibentuk angkatan bersenjata khusus yang terdiri atas umat Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Aksi ini diberitakan oleh Koran Asia Raya edisi 13 September 1943.
KH Masjkur bahkan pernah mengikuti pelatihan militer khusus para santri di Cibarusah. Berbekal pelatihan inilah ia terpiloh sebagai Panglima Laskar Sabilillah pada saat perang mempertahankan kemerdekaan, tahun 1945.
Pengalamannya di medan perang membuatnya dipercaya dalam Dewan Pertahanan Negara. Dewan ini sengaja dibentuk oleh Presiden Soekarno untuk menghadapi berbagai situasi genting pada masa perang revolusi kemerdekaan.
Pemerintahan
Keterlibatan KH Masjkur dalam dunia pemerintahan telah dimulai semenjak ia masuk dalam jajaran Dewan Pertahanan Negara. Sebagai wakil dari Partai Masyumi ia bersama-sama dengan anggota dewan lainnya diberi wewenang membuat peraturan-peraturan khusus.
Pada periode yang sama, tepatnya di tahun 1947 ia dipercaya sebagai Menag. Pada masanya sebagai Menag sejumlah keputusan dan kebijakan Kementerian Agama ia lakukan.
Dalam periode singkat kabinet Amir Syarifuddin II antara November 1947 hingga Januari 1948, ia berhasil mengeluarkan Permenag No.5/1947 tentang biaya Perkara Pengadilan Agama.
Di samping itu ia juga berhasil mengadakan forum nasional, Konferensi Agama dengan Jawatan-jawatan Agama seluruh Indonesia yang berlangsung sejak tanggal 13 sampai 16 November 1947.
Pada periode Kabinet Hatta di tahun 1948, KH Masjkur yang kembali dipercaya sebagai Menag juga memberlakukan UU No.19/1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman. UU ini menjadi dasar berlakunya peradilan Islam.
Melalui UU tersebut semua perkara perdata umat Islam diselesaikan menurut hukum Islam. Termasuk juga penunjukkan hakim-hakimnya harus beragama Islam dan orang yang ahli hukum Islam.
Pada periodenya pula ia menangani dampak pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948. Saat itu KH Masjkur mengutus para stafnya untuk mendata jumlah pesantren, kyai, naib, ulama, penghulu yang menjadi korban keganasan PKI.
Tidak hanya itu dedikasinya di bidang pemerintahan yang lain ialah pembentukkan Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini ditandai dengan pendirian Kantor KUA di Kab. Kediri pada tahun 1948.
Pada periodenya juga Indonesia untuk pertama kalinya mengirim tim khusus untuk ibadah haji pasca perang kemerdekaan. Tim ini dipimpin langsung oleh Prof. KH Mohammad Adnan.
Masih dalam bidang haji, KH Masjkur juga mulai mengatur keluarnya paspor haji melalui Peraturan Menteri No.3/ 1955 termasuk akomodasi biaya haji. Kebijakan lainnya di bidang haji ialah peraturan tentang Majelis Pimpinan Haji (MPH) dan pengaturan tentang rombongan haji yang masing-masing diatur dalam Permenag No. 8/ 1955 dan Permenag No.13/1955.
Politik
KH Masjkur kembali meneruskan perjuangannya melalui jalur partai politik. Setelah pensiun dari dunia pemerintahan, ia mulai menapakikembali jalur perjuangan parlemen.
Pada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan pada tahun 1973, ia dipercaya sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Pusat PPP.
Selanjutnya pada tahun 1978 hingga 1983, ia mulai berkiprah di parlemen. Salah satu sikap kritsinya selama berkiprah di parlemen ialah mengkritisi draft Rancangan Undang-undang (RUU) Perkawinan yang disodorkan oleh pemerintahan orde baru pada tahun 1973.
Saat itu KH Masjkur yang juga mantan Anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Presiden Suharto dan KH Bisri Syamsuri melakukan lobi kepada Presiden Soeharto. Hasilnya semua hukum Islam tentang perkawinan akan dimuat dalam RUU Perkawinan.
Penulis: Kukuh Subekti