(IslamToday ID) – Rencana aneksasi (pencaplokan) wilayah Tepi Barat oleh Israel akan membuat kehidupan sehari-hari muslim Arab akan semakin sulit.
Pada tanggal 23 Juni 2020, seorang pria muda Palestina ditembak mati oleh petugas polisi Israel karena diduga mencoba menabrakkan mobilnya ke salah satu pos pemeriksaan polisi di dekat jalan menuju Yerusalem Timur.
Ahmed Eerkat (27) tewas sebelum ia menghadiri pernikahan saudara perempuannya. Keluarganya mengatakan Ahmed adalah pria yang rajin, dan dibunuh dengan sangat keji setelah terjadi kecelakaan.
Rekaman yang dirilis oleh otoritas Israel menunjukkan mobil melaju dan berbelok ke kanan sebelum sampai pos pemeriksaan. Apakah itu benar-benar peristiwa kecelakaan, tergantung apa kata polisi Israel, sebab kondisinya sedikit kacau.
Kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) seperti B’Tselem membeberkan bahwa Tel Aviv dengan mudah menghindari pemeriksaan ketika orang Israel dituduh membunuh warga Palestina.
Jika Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melanjutkan rencananya untuk mencaplok tanah Palestina di Tepi Barat, maka “kecelakaan” dan konfrontasi seperti itu akan meningkat.
Israel telah mengincar Tepi Barat, wilayah di sisi barat Sungai Jordan dan Lembah Jordan yang subur. Selama bertahun-tahun, lebih dari 700.000 warga Yahudi telah membangun rumah dan bisnis di tanah Palestina yang diduduki itu.
Sekarang, Netanyahu ingin menjadikan wilayah ini bagian dari Israel meskipun ada kecaman internasional. Sebagian besar permukiman dibangun di atas tanah milik Palestina di masa depan. Tepi Barat adalah rumah bagi 2,5 juta warga Arab.
Segera setelah pemilihan umum, Netanyahu berjanji kepada warga Yahudi sayap kanan bahwa ia akan memperluas kedaulatan Israel atas permukiman yang tersebar di Tepi Barat.
Ia ingin mewujudkan hal itu pada 1 Juli, namun sekarang rencana tersebut telah ditolak karena anggota parlemen Israel bakal berhadapan dengan hukum dan kebijakan luar negeri.
“Netanyahu awalnya berbicara tentang rencana aneksasi seluruh Lembah Jordan, tetapi seiring berjalannya waktu pilihan ini terlihat kurang pas, kemudian ia mempertimbangkan kembali yang lebih terbatas. Ia mungkin memasukkan beberapa blok permukiman besar, yang mungkin lebih dekat ke perbatasan,” kata Dr Nimrod Goren, Kepala Institut Kebijakan Luar Negeri Israel (Mitvim) seperti dikutip di TRT World, Kamis (2/7/2020).
“Saya pikir Netanyahu akan berubah dan mengurungkan niatnya untuk opsi aneksasi terbatas yang mungkin tidak terjadi pada 1 Juli. Bisa jadi dia mengumumkan niatnya saja dan aneksasi terjadi di musim panas atau musim gugur sebelum pemilihan di Amerika Serikat.”
Tugas Yahudi
Presiden AS Donald Trump dipandang sebagai sekutu terdekat Netanyahu. Pada 2017, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel dan sebagian besar wilayah Palestina sebagai bagian dari Israel.
Saat ini, Israel belum menyatakan seperti apa aneksasi itu nantinya. Juga tidak menyatakan apa yang akan terjadi pada puluhan ribu warga Palestina yang tinggal di sekitar permukiman.
Israel sudah mengendalikan Tepi Barat yang didudukinya setelah perang dengan bangsa Arab pada tahun 1967.
Permukiman Yahudi seperti perkumpulan eksklusif yang dilengkapi dengan banyak fasilitas, termasuk taman, jalan yang dirawat dengan baik, rumah sakit, dan sekolah. Lalu lintas jalan yang dibangun khusus untuk para pendatang, menghubungkan tempat-tempat ini dengan Israel.
Sementara, warga Palestina terus hidup sengsara di bawah kendali militer Israel. Mereka dilecehkan bukan hanya oleh tentara Israel, tetapi oleh para pemukim yang secara terbuka membawa senapan otomatis.
Antara Januari 2009 dan April 2020, pemukim Israel membunuh 28 warga Palestina di Tepi Barat. Yesh Din, sebuah LSM, menyatakan sebagian besar kasus yang melibatkan warga Israel sebagai pelaku, tidak menghadapi dakwaan. Padahal mereka jelas-jelas menyerang warga Palestina dan rumah-rumah mereka.
Netanyahu telah menyatakan bahwa warga Palestina yang terkena aneksasi, tidak akan dianggap sebagai warga negara Israel.
“Warga negara kelas dua. Itulah sebutan terbaik untuk menggambarkan orang Palestina nantinya,” kata Antony Loewenstein, seorang jurnalis independen, penulis, dan pembuat film tentang Israel-Palestina selama lebih dari 15 tahun.
Dengan sistem seperti itu, pemukim Yahudi akan memiliki semua hak, tetapi tidak dengan warga Palestina. Netanyahu adalah orang yang paling tidak peduli dengan hal itu. Ia melakukan itu untuk kepentingan politik dan memenuhi apa dianggapnya sebagai tugas orang Yahudi.
“Di satu sisi, dia adalah seorang yang karier politiknya selamat. Dia adalah Perdana Menteri Israel terlama dan akan melakukan apa saja untuk tetap berkuasa, termasuk menenangkan pemukim sayap kanan,” ungkap Loewenstein.
“Tapi dia juga orang yang benar-benar percaya (dalam supremasi Yahudi atas tanah suci). Dia percaya bahwa orang-orang Yahudi memiliki hak tunggal untuk mengontrol Tepi Barat dan Gaza. Dan itu keyakinan yang dia ungkapkan jauh sebelum menjadi perdana menteri.”
Pada tahun 1995, ketika parlemen Israel memperdebatkan fase kedua Kesepakatan Oslo, untuk memetakan penarikan Israel dari tanah yang diduduki, Netanyahu yang saat itu seorang pemimpin oposisi membuat pernyataan terkenal.
“Anda mengatakan bahwa Alkitab bukanlah perbuatan kita,” katanya sambil berteriak kepada perdana menteri saat itu Yitzak Rabin. “Tapi saya katakan sebaliknya, Alkitab adalah mandat kita, Alkitab adalah perbuatan kita.” Rabin dibunuh oleh ekstremis Yahudi akhir tahun itu. [wip]