(IslamToday ID) — Jokowi kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia. Pada periode pertama, pemerintahan Jokowi mengeluarkan sejumlah kebijakan yang tampak kontradiktif. Misalnya, soal ‘politik subsidi’.
Politik Subsidi Bagi Konglomerat
Tahun 2017, Pemerintahan Jokowi memberikan bantuan dana kepada konglomerat sawit di Indonesia. Lima konglomerat sawit menerima suntikan dana sebesar Rp 7,5 triliun. Mereka ialah Wilmar Group, Musim Mas, First Resources, dan Louis Dreyfus Company (LDC), Darmex Agro Group. Wilmar Group penerima subsidi terbesar, yakni Rp 4,16 triliun. (CNN Indonesia, 17 Januari 2018)
Ada yang aneh dengan keputusan pemerintah memberikan subsidi kepada lima pengusaha sawit ini. Karena nilai subsidi dan setoran yang mereka berikan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) tidak imbang. Wilmar Group misalnya hanya mampu setor Rp 1,32 triliun. Sementara empat grup usaha yang lain seperti Darmex Agro Group menerima dana sebesar Rp 915 miliar dan setorannya Rp 27,58 miliar, Musim Mas menerima Rp 1,54 triliun dengan setoran kepada negara Rp 1,11 triliun, First Resources menerima Rp 497 miliar dan setorannya Rp 86,95 miliar, dan LDC menerima Rp 410 miliar dan setoran Rp 100,3 miliar (CNN Indonesia, 17 Januari 2018).
Sikap lunak pemerintahan Jokowi terhadap konglomerat juga terlihat dari keluarnya kebijakan tax amnesty pada 2016-2017. Kebijakan pengampunan pajak bagi para pengusaha dan konglomerat pengemplang pajak.
Tax amnesty periode I, mencatat jumlah harta yang dilaporkan ke negara jumlahnya lebih dari Rp 3.500 triliun. Jumlah tersebut terdiri dari harta di dalam negeri dan luar negeri. Target pelaporan harta WNI yang ada di luar negeri untuk dibawa ke dalam negeri adalah Rp 1.000 triliun dan pelaporan asetnya Rp 4.000 triliun.
Sementara itu, dana yang bisa diperoleh dalam program tax amnesty hingga 30 September 2016 mencapai Rp 92,99 triliun dari target Rp 165 triliun (Okezone.com, 12 Desember 2017). Artinya, masih banyak pengusaha yang nakal meskipun pemerintah telah memberi pengampunan pajak.
Politik Subsidi Bagi Rakyat
‘Politik subsidi’ pemerintahan Jokowi agaknya kurang berpihak pada ‘wong cilik’. Sinyal ini sudah diberikan Jokowi di awal pemerintahannya, tahun 2014. Ia berdalih subsidi harus dialihkan pada hal-hal yang lebih produktif.
“Saya siap untuk tidak populer. Tetapi kita harus tahu ya, bahwa kalau kita memotong subsidi, subsidi itu harus dialihkan kepada usaha-usaha produktif. Di kampung, di desa, kepada UMKM, untuk pupuk benih pestisida kaum petani, untuk solar dan mesin kapal nelayan,” ujar Jokowi (VOA Indonesia, 29 Agustus 2014).
Diantaranya, adalah, naiknya harga BBM secara diam-diam, pasokan BBM jenis premium mulai dibatasi, bahkan langka di beberapa daerah. Pada tahun 2018 harga premium naik dari Rp 6550 menjadi Rp 7.000, dan harga pertalite naik dari Rp 7500 menjadi Rp 7800. Hingga kini jenis BBM yang dijual di pasaran untuk semua kalangan hanya tinggal pertalite dan pertamax, tidak semua SPBU menjual BBM jenis premium.
Sektor pertanian pun tidak lepas dari ‘politik subsidi’ pemerintahan Jokowi. Pengurangan subsidi pupuk dilakukan dengan menerapkan kartu tani.
Hanya pemegang kartu tani yang dapat membeli pupuk bersubsidi. Hal ini, untuk menutup dikuranginya subsidi pupuk. Subsidi pupuk tahun 2019 lebih besar daripada tahun 2020, Rp 29,5 triliun turun menjadi Rp 26,62 triliun, Total pupuk yang disubsidi oleh pemerintah hanya 7,94 ton pupuk yang terbagi dalam Urea, Sp-36, ZA, NPK dan kompos.
Bidang kesehatan, pemerintah mulanya optimis dengan program jaminan kesehatan melalui program Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan program BPJS. Nyatanya, anggaran negara justru jebol. BPJS menanggung hutang kepada banyak rumah sakit, bahkan sejumlah rumah sakit nyaris bangkrut, lantaran BPJS tak kunjung melunasi hutangnya.
Ironisnya, kesalahan pemerintah ini dibebankan pada rakyat. Pemerintah menaikan iuran BPJS. Pilihan masyarakat untuk turun kelas pun dihalang-halangi. Bahkan muncul isu bagi yang tidak memiliki kartu BPJS, tidak akan mendapat pelayanan publik lainnya, seperti pembuatan SIM dan lain lain.
Kini belum lepas dari teror naiknya iuran BPJS, rakyat kembali diteror dengan rencana kenaikan harga gas LPG 3 kg. Pada tahap awal pencabutan subsidi bakal menyasar tujuh provinsi. Namun, rencana kenaikan LPG 3 kg, telah menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah rakyat.
Menyimak rentetan politik subsidi pemerintahan, kiranya mulai menyingkap agenda politik pemerintah. Kini timbul pertanyaan lanjutan, sebenarnya untuk siapa pemerintah bekerja dan berpihak? Untuk para konglomerat sawit yang nilai bahkan nilai nilai setoran pajaknya lebih kecil dari subsidi yang mereka terima dari pemerintah?, Atau justru untuk rakyat yang juga diberikan kewajiban membayar berbagai macam pajak namun justru subsidi untuk mereka kini dikurangi atau bahkan hendak dihapus?
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza