(IslamToday ID) — Proyek pembangunan ibukota baru di Kalimantan Timur ditaksir menelan biaya senilai Rp 466 triliun. Proyek pembangunan Ibukota baru dinilai mendesak, ironisnya negara tak cukup memiliki dana. Langkah menggandeng investor dengan berbagai ‘deal’, asalkan keinginan presiden Jokowi untuk membangun Ibukota baru terwujud.
Komposisi biayanya Rp 96 triliun atau 19,2 persen dari APBN, 54,6 persen atau sekiar Rp 265,2 triliun dari KPBU, dan sisanya 26,2 persen atau. Rp127,3 triliun dari swasta.
Hingga saat ini, sudah ada 30 investor yang siap mengucurkan biaya, sekaligus bersiap pula untuk menikmati berbagai ‘mahar politik’ yang ditawarkan pemerintah Indonesia.
Dewan Pengarah Ibukota Baru, Luhut Binsar Panjaitan, mengatakan para investor besar itu berasal Amerika Serikat, Jepang, Uni Emirat Arab, Singapura dan beberapa negara lain.
Pembanguan proyek-proyek vital seperti pendidikan, kesehatan, pusat keuangan hingga hiburan diserahkan kepada para investor akan membangun. Sedangkan, pembangunan gedung-gedung pemerintahan sepenuhnya menggunakan anggaran APBN
Sejumlah hak istimewa pun diberikan kepada investor asing ini salah satunya mereka tidak akan melalui jalur “normal” investasi, sebagaimana yang diatur oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Mereka bisa langsung datang ke Badan Otorita Ibukota untuk melakukan transaksi.
Resiko Skema KPBU
Proyek ibukota negara baru yang melibatkan investor asing dari delapan negara ini sebagaimana yang sudah berjalan ini akan menggunakan skema KPBU. Adapun konsep pembiayaan KPBU atau public private partnership tidak sesederhana pengucapannya. KPBU merupakan kerjasama yang mengikat antara pemerintah dan investor yang melibatkan perjanjian dengan berbagai resiko dengan prasyarat yang pelik dan detail.
“Perjanjian kerja sama dalam bentuk konsesi atau operasional jangka panjang 25 tahun sampai 30 tahun, dihitung di depan dengan memperhitungkan risiko politik 5 tahunan, tren keuangan, kepastian demand, dan seterusnya”, ungkap Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan, Bernadus Djonoputro. (Kompas, 8/7/19)
Skema KPBU sudah ada sejak 2005 dan menjadi skema utama dalam hal investasi di Indonesia. Pada masa Presiden Jokowi skema ini dikuatkan melalui Perpres No. 38/ Tahun 2015. Perencanaan ibukota baru merupakan kerja besar yang diatur secara khusus karena menyangkut kedaulatan, penanganan asset rahasia, keamanan negara dan lain-lain.
Ancaman Investasi Asing
Rissalwan Habdy Lubis, Pengamat Kebijakan dan Sosiolog Universitas Indonesia, berpendapat, kebijakan membuka investasi asing untuk pembanguan ibukota dinilai salah langkah, kurang matang dalam perencanaan dan terlalu terburu-buru. Menurutnya, keberadaan investor asing akan menjadi ancaman dari sisi keamanan negara..
“Yang namanya aset negara, apalagi ibu kota itu sebaiknya tidak dibiayai, tidak didanai investasinya oleh pihak di luar negara. Jadi akan lebih baik kalau ini dilakukan murni atas kekuatan keuangan negara sendiri,” tegas Rissalwan.
Resiko lainnya, pemerintah dipaksa secara langsung atau tak langsung untuk membuka rencana tata ruang dan desain sesuai keinginan investor asing yang masuk.
Pembangunan ibu kota baru yang identik dengan smart city dan modern menimbulkan kesan terburu-buru, hal ini pun tak sebanding dengan resiko pertahanan negara yang melemah akibat investasi asing.
“Kalau mau dipindahkan, lakukan dengan perlahan. Caranya gimana? ini kan bebannya berat, buat multi year. Bahkan jangan multi year, tapi multi rezim. Itu semua harus dengan kekuatan negara. Jadi jangan sampai, kita membangun aset negara pakai uang orang, apalagi nanti kontraktornya asing. Siapa yang bisa memastikan keamanan negara kita itu tidak disadap, atau sebagainya? enggak ada,” tandasnya
Selain itu, banyak pihak mempertanyakan investasi dalam proyek pembangunan ibukota baru. Bahkan khawatir, jika pemindahan ibukota ini akan membuat utang negara kian menumpuk. Tidak hanya itu, perjanjian investasi hendaknya disertai dengan klausul perjanjian yang mengutamakan kepentingan nasional. Bukan sebaliknya, dianggap sebagai tiket untuk menyetir kepentingan negara.
“Karena memiliki modal seakan-akan di-drive (setir), mereka mau apa kita turuti,” jelasnya.
Sam Parker dan Gabrielle Chefitz, dalam Harvard Kennedy School, Deptbook Diplomacy: China’s Strategic Leveraging of its Newfound Economic Influence and the Consequences for U.S. Foreign Policy (2018), mengatakan hutang dan investasi ini akan digunakan kepentingan politik luar negeri. Setidaknya, Cina memiliki kepentingan politik untuk menguasai Laut Cina Selatan dan menembus batas-batas perairan wilayah lain.
Tampaknya, kita tinggal menanti, akankah Indonesia disetir 30 investor asing?