IslamToday ID –Tidak sinkronnya data kasus corona virus (covid-19) kembali terjadi. Data yang dirilis pemerintah dituding jauh dari fakta yang sebenarnya terjadi dilapangan.
Pertama, pada Selasa Maret 2020 lalu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur Banten Wahidin Halim menyebutkan masing-masing di daerahnya terdapat satu kasus kematian pasien positif Covid-19. Meski Namun demkian, data kematian corona versi pemerintah pusat masih lima orang atau tidak berubah sejak Sabtu (14/3).
Kedua, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan pihaknya telah mengurus 401 jenazah sepanjang 6 Maret 2020 sampai 1 April 2020 dengan menggunakan protap penanganan pasien covid-19. Tapi sampai sengan 1 April 2020 pemerintah merilis data kematian akibat covid-19 baru 157 jiwa.
Kondisi ini sebenarnya membuat nyawa masyarakat dalam bahaya. Pemerintah daerah dan tenaga medis yang bergerak digarda depan ibarat ‘berperang dengan mata tertutup’.
Ayo Transparan
Sejumlah kejanggan itu membuat berbagai pihak mendesak pemerintah transparan. Mulai dari organisasi wartawan, ikatan dokter, juga kepala daerah seperti Gubernur DKI Jakarta dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Bowono X mendesak transparasi data kasus covid-19.
Sebelumnya, persoalan transparansi data kasus covid-19 ini juga telah disorot oleh Amnesty Internasional Indonesia. Kurangnya transparansi merupakan bentuk kelalaian pemerintah . Tidak adanya transprapansi juga berpotensi melanggar hak kesehatan masyrakat, dengan kata lain membahayakan masyarakat.
“Seandainya masyarakat memiliki informasi yang utuh maka mereka juga bisa ikut mengambil langkah-langkah pencegahan yang maksimal,” Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Jumat (13/3/2020) lalu.
Ketua Umum PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Daeng Mohammad Faqih, juga sudah menyampaikan pendapatnya, sehingga pemerintah lebih transparan. Menurutnya bahwa membuka rahasia kedokteran dalam kondisi saat ini tidak bertentangan dengan hukum maupun perundang-undangan. Dengan dibukanya rahasia kedokteran, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 lebih efektif dalam melakukan contact tracing.
”Kami sudah pertimbangkan demi kepentingan masyarakat yang mengancam kesehatan. Dan statusnya sudah pandemic (global), maka boleh dibuka,” kata Faqih (16/3/2020)
Indonesia Mengkhawatirkan
Sejumlah lembaga riset epidemilogis terkemuka di dunia membuat estimasi perhitungan penyebaran Covid-19 di Indonesia. Jumlahnya sangat jauh dari data yang dirilis pemerintah Indonesia.
London School of Hygiene and Tropical Medicine mengemukakan bahwa terdapat 22-37 ribu kasus terinfeksi di Indonesia saat ini. Selain itu, Future of Humanity Institute, University of Oxford yang mengkalkulasikan saat ini seharusnya ada 80 kasus yang telah terkonfirmasi di Indonesia.
Tidak transparannya data dan kebijakan pemerintah membuat rakyat rentan mengalami mispersepsi. Di saat yang sama hal ini meningkatkan risiko konflik sosial. Hal ini diungkapkan Timur Kuran dan Cass Sunstein dalam publikasinya berjudul “Availability Cascades and Risk Regulations”.
Implikasi dari ketidakterbukaan pemerintah yang disebutkan oleh Kuran dan Sunstein tampaknya telah terjadi di Indonesia menyusul dengan merebaknya pandemi Covid-19.
Implikasi pertama kebijakan insentif pariwisata di saat Covid-19 membuat masyarakat tidak memiliki kesadaran dan antisipasi lebih. Kemudian terjadi mispersepsi himbauan kerja, belajar dan beribadah dan dirumah. Masyrakat justru menganggap itu sebagai momen liburan. Akibatnya, potensi peningkatan penyebaran virus terjadi.
Mudah mudahan, tidak sinkronya data kasus covid-19 bukan karena manipulasi. Sebab Manipulasi dapat membawa malapetakan. “The Mens Rea and Moral Status of Manipulation” karya Marcia Baron mengungkapkan, bahwa manipulasi terjadi ketika manipulator hanya memiliki niat dan kecerobohan.
Niatnya bertujuan membuat skenario tertentu. Namun karena diiringi dengan kecerobohan, hasil yang didapat justru tidak seperti yang diharapkan di awal.
Penulis: Arief Setiyanto
Sumber: CNNIndonesia.com, Pinterpolitik.com, Katadata..co.id, Detik.com