IslamToday ID — Ada yang menarik dengan insiden naiknya harga gula di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) dan fenomena terjadinya kelangkaan gula di 30 provinsi di Indonesia.
Terutama ketika menyimak tanggapan Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menuduh keterlibatan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dibalik kasus naiknya harga gula pasir di pasaran.
Naiknya harga gula yang melejit di atas HET Rp 12.500 menjadi Rp 17.000 per kilo serta kelangkaan gula di tengah pandemi Covid-19 menjadi sorotan Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas (28/4).
Menanggapi apa yang dikatakan presiden, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto justru mengemukakan adanya praktik lelang yang dilakukan oleh PTPN II. Pada lelang tersebut 5.000 ton gula, dengan harga lelang Rp 12.900 per kilo, di atas harga HET yang ditetapkan oleh Kemendag.
“Ada penemuan pelelangan terjadi pelelangan sebesar Rp 12.900 per kg. Nah ini sehingga menimbulkan harga ke distributor Rp 15.000 per kg dan harga ke agen lebih dari 15.000, ujungnya di pasaran sekitar Rp 17.000 per kg,” kata Mendag Agus (28/4/2020).
Dalam beberapa bulan terakhir kinerja Mendag Agus memang kerap menjadi sorotan beberapa kalangan. Banyak pihak mempertanyakan kinerja Mendag Agus, karena sejak awal tahun 2020 banyak harga komoditas kebutuhan pokok terus mengalami kenaikan. Naiknya harga komoditas kebutuhan pokok serta langkanya barang di pasaran menjadi sorotan Presiden Jokowi sejak rapat terbatas (Ratas) (21/4) lalu.
Kala itu, Presiden Jokowi menyoroti persiapan ketersediaan stok bahan makanan pokok menjelang bulan Ramadhan. Di mana harga kebutuhan pokok seperti beras dan gula cenderung merangkak naik.
“Harga gula tidak bergerak sama sekali, justru naik menjadi Rp 19 ribu. Bawang putih, bawang bombay juga belum turun. Saya enggak tahu, ini dari Kementerian Perdagangan apa sudah melihat lapangannya bahwa (harga) ini belum bergerak,” kata Presiden Jokowi (21/4/2020).
Tidak ingin terus terpojok, sepekan dari Ratas (21/4), Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyampaiakn hasil investigasi yang dilakukan oleh Satgas Pangan Kemendag. Mendag Agus mengklaim bahwa naiknya harga gula pasir disebabkan adanya oknum yang bermain salah satunya ialah perusahaan BUMN.
Kementerian BUMN merasa tuduhan yang dialamatkan padanya tidak benar, ia segera memberikan klarifikasi. Klarifikasi ini disampaikan oleh Staf Khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga. Menurutnya, tudingan Mendag Agus adalah sesuatu yang mengada-ada, ia beralasan tidak sebanding antara jumlah gula yang dilelang dengan jumlah kebutuhan gula nasional.
“Itu tender yang dibuat oleh PTPN II itu, itu ada 5.000 ton. Jadi kalau dibilang bahwa 5.000 ton itu adalah membuat harga gula indonesia jadi yang seperti diberitakan, cukup aneh juga. Masa 5.000 ton bisa pengaruhi 3 juta ton? Walaupun kami dari kementerian akan tetap menelusuri lebih jauh mengenai hal ini. Tapi jangan lah terlalu mengada-ada gitu. Itu terlalu mengada-ada,” ungkap Arya Sinulingga.
Meskipun Arya sempat mengungkapkan tidak mungkin harga lelang gula diturunkan sesuai arahan Kemendag, akhirnya PTPN pun bersedia menurunkan harga. Ia berargumen jika harga lelang gula turun dibawah HET maka akan menjadi pemicu kerugian negara. PTPN bersedia menurunkan harga setelah mengirimkan surat kepada kementerian BUMN. Jika suatu saat ada tuduhan telah menyebabkan kerugian negara keberadaan surat tersebut menjadi buktinya.
Kebijakan Kemendag
Pada Februari lalu pemerintah mengumumkan telah membuka kran impor gula sebanyak 495 ribu ton berdasarkan alokasi impor tahun 2019 yang belum terealisasi. Selanjutnya di bulan Maret lalu pemerintah dua kali mengeluarkan izin impor, pertama impor sebanyak 438,8 ribu ton gula dengan alasan untuk menjaga pasokan bahan pokok di tengah wabah Covid-19. Masih di bulan Maret pemerintah dengan dalih tingginya harga gula dipasaran pemerintah kembali menambahkan kuota impor gula sebanyak 550 ribu ton.
Tahun 2020 ini, Kemendag telah menerbitkan Surat Persetujuan Impor (SPI) gula Kristal rafinasi sebanyak 3 juta ton gula. Kebijakan ini berlaku sejak bulan Maret 2020, dan kuota impor tersebut dibagi menjadi dua untuk setiap semesternya, masing-masingh 1,5 juta ton gula.
Salah satu ‘PR’ yang tengah dikerjakan oleh Kemendag adalah mengembalikan harga gula sesuai dengan HET. Menurut Mendag Agus, hingga (28/4) harga gula rata-rata nasional sudah mencapai Rp 18.200 bahkan di Manokwari, Papua harga gula mencapai Rp 22.000 per kilo. Ia meminta para distributor untuk tidak menjual gula kepada distributor lain di luar area distribusinya.
Konglomerasi Impor Gula
Membicarakan impor komoditas pangan seperti gula tidak bisa lepas dari keberadaan perusahaan kelas kakap di belakangnya. Contohnya adalah Sungai Budi Grup, Samora Grup. Sementara untuk gandum akan ada Indofood Grup, dan dalam impor kedelai dan gula rafinasi dilakukan oleh FKS Grup dan ada Wilmar Grup di industri minyak kelapa sawit serta minyak goreng.
Hal ini diperburuk dengan praktik perusahaan besar dengan membuat anak-anak perusahaan baru untuk bisa melakukan konglomerasi impor bahan pangan. Melalui anak perusahaan tersebutlah mereka mengajukan izin impor kepada Kementerian Pertanian dan Kemendag. Praktik ini salah satunya dilakukan oleh Sungai Budi Grup yang berafiliasi dengan Samora Grup, alhasil keduanya mendapatkan jatah kuota impor untuk bahan gula kristal putih menjadi gula konsumsi.
Konglomerasi impor juga dilakukan oleh perusahaan plat merah, BUMN seperti yang dilakukan oleh BULOG untuk impor beras. Sementara, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) menguasai impor gula, PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai konsorsium perusahaan BUMN untuk impor beberapa komoditas produk hortikultura dan gula.
Berikut data konglomerasi perusahaan gula periode 2019/2020: PT Kebun Tebu Mas (BUMN) dengan kuota 35 ribu ton; PT Adikarya Gemilang (Sungai Budi Grup) memiliki kuota impor sebesar 30 ribu ton; PT Kebon Agung (YKK Bank Indonesia) yang kuota impornya sebesar 21.422 ton; PT Rejoso Manis Indo (Berkas Manis Makmur Group) dengan kuota impor 20 ribu ton; PT Prima Alam Gemilang (Johnlin Group) memiliki 50 ribu ton; PT Sukses Mantap Sejahtera (Samora Group/ Sungai Budi Group) dengan kuota impor 20 ribu ton, PT Gendhis Multi Manis (anak perusahaan BULOG) mempunyai kuota impor 29.750 ton gula; PT Madubaru (RNI dan Keluarga Hamengkubowono) dengan kuota impor 10 ribu ton.
Selain menjadi pemain dalam impor gula mereka juga menguasai ribuan hektar perkebunan tebu di Jawa dan Sumatera. Mereka juga memiliki beberapa pabrik gula di Jawa dan Sumatera seperti yang dilakukan oleh Sungai Budi Grup, konglomerat Widarto Oey, pengusaha Hans Falita Hutama melalui Berkah Manis Makmur Group.
Evaluasi Kebijakan
Kebijakan Kemendag yang sangat bergantung pada kebutuhan impor mengundang kritik dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS). CIPS menyoroti perlunya tindakan evaluasi terhadap kebijakan impor gula khususnya dalam penetapan kuota dan perizinan impor gula. Pemerintah harus bersikap transparan dalam pengurusan izin impor karena banyak ditemukan hambatan.
Peneliti CIPS, Felippa Ann Amanta meragukan pelaksanaan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 117 Tahun 2015 yang di dalamnya mengatur tentang siapa yang diperkenankan izin melakukan impor dan jenis gula yang bisa diimpornya.
Ketentuan yang diatur adalah bahwa impor gula hanya bisa dilakukan oleh importir yang mendapatkan izin untuk raw sugar, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk white sugar. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa permendag tersebut perlu untuk dievaluasi dan direvisi.
Tujuan diperlukannya evaluasi dan revisi terhadap Permendag No.117 Tahun 2015 yaitu agar akses impor gula hanya diberikan kepada importir yang telah memenuhi persyaratan.
Untuk itu diperlukannya transparansi dalam proses penetapan kuota serta pemberian izin. Dimana mekanisme automatic import licensing system sudah berlaku, hanya importir yang legal dan secara kapasitas mampu mengimpor sesuai dengan kebutuhan pasar.
Penetapan kuota impor idealnya berdasarkan rekomendasi Kementerian Perindustrian. Karena kementerian ini akan menetapkan rekomendasi sesuai dengan kebutuhan industri. Untuk itu penetapan kuota impor diperlukan data yang akurat agar terpenuhinya kebutuhan impor disesuaikan dengan permintaan produksi. Hal yang tidak kalah penting adalah pemerintah melalui Kementerian Pertanian perlu mendorong industri gula dalam negeri. Sehingga petani tebu siap berkompetisi seiring dengan dibukanya importasi gula.
“Kalau proses ini sudah mampu menjadikan gula Indonesia kompetitif, maka jumlah impor gula juga akan berkurang dengan sendirinya,” ucap Felippa (12/2/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Redaktur: Tori Nuariza