IslamToday ID — Pandemi COVID-19 mengubah pola konsumsi masyarakat, salah satu sektor yang terdampak adalah sektor pertanian khususnya para petani kecil. Bisnis makanan yang biasanya ramai selama Ramadhan menjadi sepi, alhasil para petani pun mengalami nasib yang serupa yakni sepinya permintaan dari warung makan ataupun restoran. Pemerintah pun sepertinya abai dengan nasib para petani di desa-desa.
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selama masa pandemi pun turut mempengaruhi langsung kehidupan para petani. Khususnya kebijakan Pembatasan Sosial Berskla Besar (PSBB), mau tidak mau setelah kebijakan ini berlaku banyak warung makan, restoran yang membatasi jam buka hingga tutup tak berjualan. Alhasil permintaan hasil-hasil bumi menurun, petani merugi karena hasil pertaniannya tidak laku dijual dan akhirnya membusuk lalu dibuang.
Beda Nasib Petani Tradisional dan Aplikasi Agribisnis
Salah satu komoditas pertanian yang merugi adalah cabai, karena harga jualnya yang sangat rendah. Padahal banyak petani-petani kecil yang menggantungkan hidupnya dari hasil menanam cabai. Harga cabai di Banyumas misalnya Rp 5.500 per kilo.
“Biasanya di atas 20.000 per kilogram,” tutur Gisneo (5/5/2020).
Sementara petani sayur di Ciwidey, Kabupaten Bandung harus rela hati membuang sayurannya hingga berkilo-kilo. Karena sayur-sayur tersebut batal didistribusikan ke pelangannya.
“Kadang dibuang, 10 kg, 15 kg dibuang. Kalau bawa 50 kg atau sekuintal, kadang-kadang nggak habis, ya dibuang saja. Saya berharap pandemi cepat selesai. Kalau gini terus, repot orang kecil, kekurangan untuk makan sehari-hari,” kata Ujang (7/5/2020).
Nasib serupa juga dialami oleh para petani bunga di Kabupaten Batu, Jawa Timur. Bunga-bunga yang sudah mekar dibuang atau dijadikan sebagai pakan ternak. Hal ini terungkap dalam sebuah postingan video di twitter yang diunggah oleh @hentyeka. Dalam postingan tersebut ia mengkritik perhatian pemerintah, media yang hanya memperdulikan nasib para pengemudi online.
“Di saat orang-orang dan media sibuk mengalihkan perhatian ke ojek online, mereka lupa kalo corona tidak hanya menyengsarakan ojek online. Petani, adalah salah satu yang terdampak paling parah dan sekaligus paling dilupakan. Ini contohnya petani bunga,” tulis hentyeka (15/4/2020).
Banyaknya toko bunga yang tutup dan acara pernikahan yang ditunda sangat berpengaruh terhadap nasib para petani bunga. Aneka bunga mawar yan baru dipanen tidak jarang langsung dibuang begitu saja. Tak jarang bunga-bunga milik petani berakhir di kandang kambing. Pembuat video tersebut sangat berharap kepada pemerintah dan lembaga-lembaga sosial untuk bisa membntu memberikan bantuan kepada para petani.
“Aku tahu covid-19 ini berdampak ke semua sektor. Tapi khusus untuk pertanian, tak banyak yang tau gimana beratnya. Para petani pun tak bisa berkoar-koar di sosial media. Semoga Pemerintah atau lembaga sosial bisa lihat ini dan segera mendapat bantuan,“ ungkap Henty.
Ketika nasib petani tradisional diambang kerugian besar, perusahaan teknologi agribisnis justru tengah diuntungkan dengan adanya pandemi Covid-19. Mereka diuntungkan karena banyak konsumen yang melakukan transaksi pemesanan via online dari rumah. Seperti aplikasi Tani Hub yang mengalami pelonjakan penggunaan aplikasi sejak Maret 2020, atau setelah kebijakan social distancing mulai diterapkan di Indonesia.
“Selama kondisi wabah ini, penjualan buah, sayur, sembako, dan hasil tani lainnya (secara keseluruhan) pada TaniHub Group meningkat cukup besar, yaitu lebih dari 20%. Terdapat peningkatan tajam di penjualan ke pembeli individu dan rumah tangga, yang mencapai 150%. Sejak 1 Maret hingga 29 April, ada 100 lebih pengguna baru di aplikasi kami,” CEO dan Co-Founder TaniHub Group, Ivan Arie Sustiawan (7/5/2020).
Bahkan harga yang ditawarkan oleh para pemilik aplikasi agribisnis online tersebut jauh lebih menguntungkan jika dibandingkan petani tradisional. Contohnya harga yang ditawarkan oleh Pasar Mitra Tani (TTIC): beras dijual seharga Rp 8.800 per kilogram, daging ayam dijual dengan harga Rp 30 ribu per kilogramnya, minyak goreng dihargai Rp 11 ribu per kilogram, gula dibandrol Rp 12.500 per kilogram, daging Rp 75 ribu per kilogram, bawang merah Rp 35 ribu per kilogram, telur Rp 22 ribu per kilogram, sementara harga cabai rawit dan cabai panjang dijual dengan harga Rp 35 ribu dan Rp 25 ribu per kilogramnya.
Peka Terhadap Petani, Solusi Defisit Pangan
Sebenarnya sejak Maret lalu pemerintah sudah diperingatkan oleh anggota dewan agar pemerintah memaksimalkan sumber daya dalam negeri. Salah satunya adalah sumber daya pertanian. Pemerintah saat itu diminta untuk tidak seenaknya melakukan impor pangan. Namun, peluang positif bagi pemerintah untuk peduli akan nasib petani tidak diindahkan dengan baik.
“Corona ini peluang besar bagi petani menunjukan dirinya menjadi pahlawan bagi negerinya. Pangan negeri ini, hanya mereka yang mampu siapkan,” kata Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Hasan Aminuddin (19/3/2020).
Menurutnya, urusan perut tidak bisa ditunda atau diabaikan. Semua pihak harus menjaga petani tetap sehat dan berproduksi. Jangan sampai berpikir untuk impor saat musim panen.
Ia berharap pemerintah lebih peka terhadap petani. Karena bangsa Indonesia mampu berproduksi, sebagai bukti petani masih mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional sendiri.
“Kita punya kemampuan besar. Buah-buahan dan sayuran kita lebih segar dan sehat. Kalau kita beli dari petani kita, maka kita juga menggerakan ekonomi nasional,” jelasnya.
Senada dengan anggota legislatif, seorang Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau, Ujang Paman Ismail mengungkapkan hal serupa. Panen raya yang dialami oleh petani Indonesia dinilai mampu menutupi kebutuhan pangan di tengah-tengah situasi pandemi corona. Untuk itu dibutuhkan koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah.
“Ada sinergi antar keduanya, pemerintah pusat dan daerah. Sehingga datanya tidak kecolongan di mana dan komoditas pangan apa saja yang defisit. Apalagi sekarang kan sudah panen raya,” (1/5/2020).
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Tori Nuariza