IslamToday ID — Kondisi hutan di Indonesia begitu memprihatinkan. Tiap tahun kerusakan hutan mencapai lebih dari satu juta hektar.
Dalam Laporan berjudul Angka Deforestasi Sebagai Alarm Memburuknya Hutan Indonesia (2019), Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat adanya deforestasi atau penebangan hutan yang begitu luar biasa setiap tahunnya. Selama periode 2013 hingga 2017, setiap tahun terjadi deforestasi seluas 1,47 juta hektar. Angka tersebut mengalami peningkatan jika dibandingkan periode 2009 hingga 2013. Pada periode ini yang mencapai 1,1juta hektar per tahun.
“Sejak beberapa dekade terakhir ini hutan alam di Indonesia mengalami deforestasi yang sangat serius dan menurun kondisinya baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya,” tulis FWI dalam laporan tersebut
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga mencatat tingginya deforestasi hutan di Indonesia. Pada periode tahun 2018/2019, terjadi deforestasi seluas 462,4ribu hektar. Angka tersebut mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan periode 2017/2018 yang hanya 439,4ribu hektar.
Berdasarkan riset sejak tahun 2011 sampai 2016, Tim peneliti dari Universitas Duke, Amerika Serikat (AS) menyimpulkan, bahwa ada sepuluh penyebab tingginya deforestasi di Indonesia. Risetnya berjudul What causes deforestation in Indonesia (2019) itu menyatakan bahwa Industri perkebunan kelapa sawit yang luasnya mencapai 2,08 juta hektar merupakan penyebab tertinggi deforestsi hutan di Indonesia.
Kebakaran hutan menduduki posisi kedua penyebab deforestasi. Jumlahnya mencapai 1,84 juta hektar. Penyebab ketiga, ialah alih fungsi kawasan hutan sebagai lahan pertanian, luasnya mencapai 1,36 juta hektar.
Penyebab deforestasi yang keempat ialah industri penebangan kayu. Luasnya mencapai 1,26 juta hektar di tahun 2010-2012. Selain itu, industri perkebunan berskala besar dan kecil juga menjadi penyebab tingginya deforestasi. Industri perkebunan besar mengakibatkan deforestasi seluas 616ribu hektar, sedangkan industri perkebunan skala kecil 662ribu hektar.
Jalur pengangkutan kayu turut menyebabkan deforestasi seluas 357ribu hektar, sedangkan pertambangan menyebabkan deforestasi seluas 219ribu hektar. Riset tersebut juga turut memasukan ekspansi kota seperti pembuatan lapangan golf dan tambak ikan sebagai penyebab deforestasi.
Karhutla, Pemerintah Lalai
Di era pemerintahan Presiden Jokowi kebakaran hutan dan lahan memang sangat luar biasa mengerikan. Sebab kebakaran hutan terus terjadi sejak tahun 2015 hingga 2020.
Menurut catatan KLHK total mencapai 5.402.037 hektar. Dengan rincian sebagai berikut 2.611.411 hektar (2015), 438.363 hektar (2016), 165.484 hektar (2017), 529.267 hektar (2018), 1.649.258 hektar (2019), dan khusus periode 1 Januari-28 Februari 2020 ada 8.254 hektar.
Kerugian akibat kebakaran hutan di tahun 2015 mencapai Rp 221 triliun. Selain itu kebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan menyebabkan 24 orang meninggal dunia, dan 600 ribu lainnya terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Asap dari kebakaran hutan dan lahan ini juga berdampak hingga Malaysia.
Ancaman Pertambangan
Kementerian Kehutanan mencatat 70 kerusakan kawasan hutan tahun disebabkan oleh adanya aktivitas pertambangan. Kemenhut juga menemukan, 80 persen permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan dari perusahaan tambang yang belum memenuhi syarat.
Di tahun 2016, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur melaporkan ada 608.913 hektar hutan yang kritis akibat eksplorasi pertambangan. Saat itu jumlah izin pinjam pakai kawasan hutan untuk pertambangan hanya seluas 3.983 hektar saja, namun kerusakan yang ditimbulkan sangat besar yakni seluas 608.913 hektar.
Dan kini pemerintah justru memberikan keleluasaan dalam sektor pertambangan, melalui UU Minerba yang baru saja direvisi kemarin. Revisi UU Minerba No.4/2009 dinilai mengancam keberlangsungan hutan lindung maupun konservasi.
Menurut Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah mengungkapkan bahwa para pengusaha tambang batubara memiliki lahan tambang di sejumlah kawasan hutan seperti kawasan hutan lindung setidaknya ada lebih dari 1.710 izin. Sementara sisanya sebanyak 3.712 izin tambang berada di hutan produksi, 2.289 berada di kawasan hutan produksi terbatas, serta 369 tambang berada di kawasan cagar alam dan konservasi.
“Ada 1.710 izin tambang di hutan lindung, 3.712 izin di hutan produksi, 2.200 izin di kawasan hutan produksi terbatas. Belum lagi 3.092 lubang tambang batu bara yang tercipta akibat ekspansi energi maut yang menyebabkan meluasnya konflik hingga banyak anak-anak meninggal dunia,” tutur Merah (30/5/2020).
Di tahun 2010, kawasan Hutan Halmahera, Maluku Utara ‘diacak-acak’ banyak perusahaan tambang. Padahal, pulau ini sudah dikenal dunia sebagai tempat hidupnya segala jenis flora dan fauna khas Maluku Utara. Banyak peneliti botani dunia yang tertarik meneliti flora dan fauna di kawasan hutan setempat. Termasuk peneliti terkenal Alfred Russel Wallace. Aktivis lingkungan di Maluku utara sudah memperingatkan,agar kawasan hutan di Pulau Halmahera tidak disentuh pertambangan.
“Semua itu nantinya hanya akan menjadi kenangan kalau hutan di Pulau Halmahera tidak dijaga kelestariannya. Jadi hutan disana jangan dikorbankan untuk investasi pertambangan dan perkebunan yang manfaatnya hanya dinikmati sementara,” ungkap aktivis lingkungan Maluku Utara, Djafar (27/4/2010).
Namun rupanya, upaya melindungi hutan akan menemui jalan terjal. Pasalnya pemerintah menempatkan izin pinjam pakai kawasan hutan di tangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Alih wewenang dari Kementerian KLHK ini berlaku sejak 31 Januari 2020 lalu. Kelestarian hutan Indonesia tampaknya akan berhadapan dengan begitu ‘ngerinya’ nafsu investasi di sektor pertambangan.
Penulis: Kukuh Subekti
Editor: Arief Setiyanto