IslamToday ID –Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali memakan korban. Kali ini korban UU ITE adalah pedagang buku sekaligus penggiat literasi, Didin Tulus.
Ia diperiksa pihak Polresta Bandung pada (18/9/2020). Didin diperiksa polisi selama 6 jam, mulai jam 10 pagi hingga jam 4 sore di Polrestabes Bandung, Ia diperiksa polisi setelah memberikan sebuah komentar terhadap status facebook temannya. Namun tanpa diduga komentar yang ia tuliskan mebawa ia berhadapan dengan hukum.
“Di luar dugaan, ternyata komentar status saya itu di-tag / diteruskan ke orang yang tidak ada hubungannya dengan situasi yang sebenarnya saya alami, dengan menjadikan saya sebagai terlapor ke pihak kepolisian,” imbuhnya didin dalam status facebooknya Jum’at (18/9/2020).
Didin mengatakan, komentar yang ia tuliskan pada status facebook temannya hanya berisi curahan hati. Ia tidak pernah berniat mencemarkan namabaik siapapun.
“sebenarnya di komentar status Facebook teman saya itu, saya hanya ingin sekadar bercurah hati dan sama sekali tidak bermaksud mencemarkan nama baik siapa pun atau institusi mana pun,” tutur
Kejadian itu membuatnya mengalami shock berat. Ia bahkan sempat didera ketakutan yang luar biasa pasca menerima surat undangan panggilan dari kepolisian. Datangnya surat tersebut tak pelak membuat sang istri marah kepadanya, sebab khawatir jika ia akan dimasukan ke dalam penjara. Pasalnya, Didin adalah kepala keluarga yang menjadi menjadi tulang pungung keluarganya.
“Saya ini orang susah dan tidak punya penghasilan tetap. Untuk bisa hidup, saya berjualan buku, cangkir, kaldu jamur dan gula semut kecil-kecilan dan apa pun yang halal utuk menyambung hidup saya dan keluarga,” ucap Didin.
Pihak Polerestabes Bandung melalui Kasatreskrim Polrestabes Bandung AKBP Galih Indragiri membenarkan terkait pernyataan Didin. Meskipun tidak menyebutkan nama pelapor, pihaknya telah melakukan pemeriksaan terhadap Didin.
“Sudah diperiksa, Satreskrim menindaklanjuti laporan dari pelapor saja sesuai yang diatur dalam Undang-Undang, ungkap Galih dikutip dari kumparan.com (23/9/2020).
Sementara itu, JJ Rizal turut prihatin atas kriminalisasi yang menimpa Didin Tulus. Rizal mengenal Didin sebagai pegiat literasi yang mendesikasikan dirinya untuk buku dan karya sastra.
“ya allah tega betul yg laporkan curhat didin atas masalah ekonominya, saya kenal didin pegiat literasi yg hidup dari buku untuk buku, saya slalu ketemu dia di acara2-acara buku sebagai penjaga stand buku, cinta terbesarnya untuk ajip rosidi, duitnya dihabiskan untuk kumpulkan arsip pujaannya itu,” tutur JJ Rizal melalui akun twitternya
Deretan Korban UU ITE
Kasus Didin bukanlah korban pertama sejak berlakunya UU ITE yang disahkan pada tahun 2008 silam. Korban pertama dari UU ini adalah seorang ibu rumah tangga asal Banten, Prita Mulyasari. Ia dilaporkan oleh RS Omni Internasional atas keluhannya terkait pelayanan kesehatan di RS Omni Internasional Alam Sutra. Namun sayang dari curhatan yang ia tujukan khusus untuk temannya tersebut justru beredar ramai di dunia maya. Bahkan kasus ini baru tuntas pada 17 September 2012.
Pihak RS melaporkan Prita ke kepolisian pada 6 September 2008, dan pada 24 September ia digugat perdata oleh pihak RS. Selanjutnya pada 11 Mei 2009 ia dinyatakan kalah dalam gugatan perdata tersebut, sehingga ia diwajibkan membayar ganti rugi materiil Rp 161 juta dan kerugian immateriil Rp 100 juta.
Selain harus membayar denda ia bahkan harus menjalani masa tahanan sejak tanggal 13 Juni 2009 di LP Wanita Tanggerang. Namun Prita tidak menyerah untuk membela haknya, ia terus mengajukan kasasi ke tingkat MA. Pada 29 September 2010 MA pun mengabulkan dan membebaskannya dari membayar ganti rugi yang nilainya mencapai Rp 204 juta. Prita akhirnya dinyatakan bebas setelah ia mengajukan Penijauan Kembali (PK) pada 17 September 2012.
Kasus berikutnya yang juga membuat korban merasa trauma adalah kasus yang menimpa Fadli Rahim, seorang PNS di Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gowa. Berbeda dengn Prita yang dikenai vonis hingga 1 tahun penjara, Fadli hanya divonis 8 bulan penjara. Ia harus mendekam dalam tahanan setelah mengkritik kepemimpinan Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo pada November 2014.
Ia dilaporkan setelah mengirimkan kritiknya dalam grup LINE SMA 1 Sungguminasa. Bahkan sang ibunda yang berprofesi sebagai guru, dan tidak terlibat dalam kasus tersebut ikut kena imbasnya. Sang ibunda yang sudah paruh baya dimutasikan ke sekolah di daerah pegunungan yang jaraknya 30 km dari rumahnya.
Merosotnya Kebebasan
Akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Usman Hamid menilai UU ITE sebagai simbol merosotnya kebebasan berekspresi. Ia mengungkapkan, berdasarkan laporan pengawas independen untuk demokrasi dan kebebasan Freedom status Indonesia turun dari bebas ke setengah bebas. Indeks kebebasan internet turun dariposisi 41 di tahun 2013, menjadi 42 di tahun 2014.
Lanjutnya, kondisi ini semakin memburuk pada era Presiden Jokowi. Pada periode Jokowi indeks kebebasan berekspresi turun dari 12 pada tahun 2015 menjadi 11 ditahun 2019. Indikator kebebasan sipil turun dari 34 di tahun 2018, turun menjadi 32 di tahun 2019. Begitupula
“Kondisi bertambah buruk pada pemerintahan Jokowi, figur presiden yang diharapkan dapat membawa perubahan baru dalam lanskap kebebasan berekspresi di Indonesia dengan latar belakang yang bebas dari militer dan politik,” tutur Usman dilansir dari theconversation.com (20/11/2019).
Ia bahkan menambahkan kasus pidana atas kebebasan berekspresi diperiode Jokowi naik hingga tiga kali lipat. Kenaikan tersebut terjadi pada periode pertamanya Jokowi. Mengutip data dari Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara SAFEnet dan Amnesty International, Usman menuturkan pada periode Jokowi (2014-2019) jumlah kasus yang berkaitan dengan UU ITE naik secara drastis hingga 233 kasus. Sedangkan, pada periode SBY (2004-2014) tercatat hanya ada 74 kasus.
Menurut Usman, penyalahgunaan UU ITE bisa disebabkan oleh beberapa alasan. Salah satunya karena pengaturannya yang terlalu luas dan tidak terdefinisikan baik. Salah satunya, tidak jelasnya definisi antara kata menghina dan mencemarkan nama baik.
Dua hal itu sudah diatur jelas dalam UU KUHP. Sebelum hadirnya UU ITE kasus pencemaran nama baik telah diatur dalam UU KUHP yakni Pasal 310-321. Usman menilai keberadaan UU ITE sebagai sebuah aturan yang rancu. Sehingga keberadaan UU tersebut sangat rentan disalahgunakan.
“Keberadaan UU ITE yang rancu membuat UU ini rentan disalahgunakan. Rumusan yang longgar tersebut juga mudah disalahgunakan oleh penegak hukum dalam pembuktian,” pungkas Usman.
Penulis: Kukuh Subekti