(IslamToday ID) – Sejumlah aktivis sebut pembangunan food estate atau lumbung pangan mengancam keberlangsungan hutan.
Pasalnya, kebijakan yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk pembangunan food estate tersebut bukan saja menabrak undang-undang melainkan juga berisiko memperparah laju deforestasi atau hilangnya hutan.
Kepala Divisi Kehutanan dan Lahan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Adrianus Eryan membeberkan, PermenLHK yang diterbitkan tahun ini tersebut berseberangan dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 199 tentang Kehutanan.
Dia merinci, Pasal 19 ayat (1) peraturan menteri LHK yang memuat pembangunan food estate dengan mekanisme KHKP (Kawasan Hutan Ketahanan Pangan) dilakukan di kawasan lindung dan hutan produksi, menabrak Pasal 26 ayat (1) UU Kehutanan.
“Dalam UU Kehutanan sudah diatur secara terbatas pemanfaatan hutan lindung hanya dapat berupa pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu,” jelas Adrianus Eryan seperti dikutip dari CNNIndonesi, Sabtu (12/12/2020).
“Food estate dalam pandangan kami tidak bisa dimasukkan dalam ketentuan pemanfaatan kawasan hutan lindung yang sudah diatur dalam UU Kehutanan tersebut,” lanjut dia.
Pemanfaatan kawasan hutan, sambung Adrianus, juga diperjelas dalam Pasal 23, Pasal 24 dan, Pasal 26 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan.
Melalui aturan tersebut, kata dia, pemanfaatan hutan yang diatur hanya untuk budidaya tanaman obat, tanaman hias, penangkaran satwa liar, atau pemungutan hasil hutan–seperti rotan, madu, getah atau buah.
Adrianus menjelaskan, kalaupun pemanfaatan itu dilakukan, aktivitas tersebut tidak boleh mengurangi, mengubah atau, menghilangkan fungsi lindung dari kawasan hutan lindung.
Kegiatan juga tidak boleh menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi kawasan. Selain itu, pembangunan sarana dan prasarana tidak boleh mengubah bentang alam.
“Memang ada klausul lain yang mengatur kepentingan pembangunan di luar kehutanan bisa dilaksanakan dalam kawasan hutan lindung. Tapi tetap dilarang untuk kegiatan yang mengakibatkan kerusakan serius dan hilangnya fungsi hutan,” kata dia lagi.
Ketentuan tersebut, lanjut Adrianus, diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU Kehutanan. Sedangkan food estate, menurut dia, berdampak negatif terhadap lingkungan hutan ketika dibangun di kawasan hutan lindung.
Kerusakan tersebut, ungkap dia, bakal diperparah lantaran kawasan hutan lindung untuk food estate tersebut bisa mendapat izin pemanfaatan kayu (IPK). Artinya, pepohonan di kawasan itu bisa saja ditebang dan dimanfaatkan.
Lebih lanjut, Adrianus mengungkapkan, ketidaksinkronan PermenLHK P.24/2020 dengan UU Kehutanan tersebut membuka ruang untuk pengajuan Judicial Review atau pengujian terhadap aturan tersebut.
Jika terbukti melanggar aturan di atasnya, maka PermenLHK dapat dibatalkan dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain soal potensi menerabas aturan yang lebih tinggi, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Syahrul Fitra menilai proyek food estate di kawasan hutan lindung berpotensi meningkatkan risiko deforestasi.
Ia mencatat, dalam kurun 2001-2019, hutan primer di Indonesia sudah kehilangan setidaknya 9,6 juta hektar tutupan hutan. Kondisi ini umumnya dipicu aktivitas pembangunan dan investasi.
Jika dilihat per provinsi, kata dia, angka deforestasi yang meningkat cukup signifikan adalah di Papua. Sekitar 1,5 juta hektar hutan alam di sana sudah dijadikan perkebunan sawit.
“Pengembangan food estate ini semakin membuka peluang peningkatan deforestasi, pasalnya lokasi proyek ini akan berada di luar izin perkebunan sawit yang telah ada saat ini,” pungkas Syahrul, masih dari sumber yang sama. [wip]