ISLAMTODAY ID — Ketua Forum Guru Muhamamdiyah (FGM) Pusat, Pahri menduga telah terjadi pembiaran sekulerisasi terhadap pendidikan. Dugaan pembiaran ini terlihat nyata melalui penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035. Pembiaran tersebut diduga dikarenakan tidak pahamnya tim penyusun kebijakan terhadap sejarah pendidikan Indonesia.
“(Hilangnya) frasa agama itu memang tampak sekali itu pembiaran dan sepertinya memang ada kesengajaan untuk mensekulerisasi pendidikan di Indonesia,” kata Pahri kepada IslamToday pada Selasa (16/3/2021).
“Dan saya lihat aktornya (tim penyusun) di Kemendikbud sekarang itu, itu kan banyak belum memahami tentang sejarah. Sejarah pendidikan, historical pendidikan Indonesia itu” imbuhnya.
Ia mengungkapkan bagaimanapun sejarah pendidikan atau historical pendidikan di Indonesia berbeda dengan spirit pendidikan yang berlangsung di negara-negara lain. Jika negara lain sengaja mengesampingkan agama dari pendidikan, maka Indonesia adalah negara yang sejak awal mengakomodir seluruh kepentingan agama. Misalnya dengan hadirnya departemen khusus agama, dan hal itu berlaku pula bagi pendidikan di Indonesia.
“Dalam sejarah berdirinya NKRI kan negara mengakomodir persoalan agama,” tutur Pahri.
Indonesia ialah negara yang mengakui keberadaan agama, hal ini pun wajib berdampak pada sektor pendidikan di Indonesia.
“Negara (Indonesia) itu kan mengakui agama, nah ini dampaknya kepada pendidikan, maka pendidikan di kita itu tidak bisa dilepaskan itu dari agama. Maka tujuan dari pendidikan nasional itu kan beriman, bertakwa, (dan) berakhlak,” ujar Pahri.
“Walaupun kita ini menuju pendidikan milenial dan seterusnya nggak boleh (meninggalkan agama), tetap pijakan kuat kita itu dari nilai-nilai religius (agama),” jelasnya.
Pahri mengingatkan agar kasus hilangnya frasa agama tersebut menjadi perhatian serius bagi Kemendikbud. Mereka tidak lagi membuat kebijakan yang tidak terencana dengan baik. Penyusunan draf PJPN 2020-2035 misalnya yang mengabaikan sejarah pendidikan Indonesia justru berakibat fatal.
“Kepada pemerintah khususnya menteri pendidikan hendaknya, berkaitan dengan pendidikan ini perlu dikaji lebih dalam tidak serampangan,” ucap Pahri.
Ia juga mengatakan menghilangkan agama dari visi pendidikan Indonesia sama saja dengan menghilangkan NKRI. Sebab agama memiliki makna penting bagi berdirinya Indonesia. Sudah seyogyanya pemerintah lebih memprioritaskan kebijakan untuk menguatkan agama bukan malah melemahkan agama dari sektor pendidikan.
Pahri mengungkapkan adanya upaya melemahkan peran agama dari sektor pendidikan di Indonesia. Ia menyebut pada tahun 2020 lalu, pihaknya beberapa kali terlibat dalam acara rapat yang diselenggarakan oleh kementerian. Ia bahkan mengatakan bahwa kebijakan yang dikeluarkan Kemendikbud justru melemahkan agama.
“Saya lihat belakangan ini banyak pelemahan-pelemahan nilai-nilai religius kita itu di bidang pendidikan itu ada pelemahan-pelemahan di situ bukan penguatan,” tutur Pahri.
Upaya pelemahan inilah yang kemudian banyak ditentang oleh forum guru dari berbagai agama di Indonesia. Para guru dari perwakilan agama Hindu, Budha, Nasrani, dan Katolik pun sepakat akan pentingnya agama dalam pendidikan Indonesia. Mereka ingin agar para siswa tetap berada pada ruh religiusitas.
“Sejarah membangun manusia Indonesia itu memang beriman, bertakwa itu, kalau ada yang nyoba-nyoba memisahkan pasti banyak yang berteriak, karena kita semua tidak ingin anak-anak didik kita itu, jadi anak didik yang lepas dari nilai-nilai agamanya,” ujar Pahri.
Persoalan Serius
Hal senada juga disampaikan oleh FGM Kota Solo, mereka juga mengungkapkan kekhawatirannya. Mereka menyebut jika frasa agama benar-benar dihilangkan dari PJPN maka hal itu akan menjadi persoalan serius.
“Jangan sampai kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini dijauhkan dari agama. Khususnya dalam dunia pendidikan,” ucap Ketua FGM Kota Solo, Muhdiyatmoko kepada IslamToday pada Selasa (16/3/2021).
Muhdiyatmoko mengatakan hilangnya frasa agama dari draf PJPN 2020-2035 dikhawatirkan akan berdampak bagi pembentukan karakter religius siswa di sekolah. Sebab selama ini banyak sekolah-sekolah yang telah berupaya menerapkan pembiasaan ibadah harian bersama di sekolah.
“Saya khawatir kalau pendidikan dijauhkan dari agama atau agama sudah tidak lagi menjadi ” roh” dalam pendidikan, pembiasaan karakter religius dan kegiatan ibadah harian di sekolah bisa hilang,” ungkap Muhdiyatmoko.
“Kita akan kehilangan calon pemimpin bangsa yang cendekia dan berkarakter religius,” pungkasnya.
Reporter: Kukuh Subekti