ISLAMTODAY ID — Penyusunan draf Peta Jalan Pendidikan Nasional (PJPN) 2020-2035 yang seyogyanya bisa membantu mempermudah pelayanan pendidikan di Indonesia justru menuai polemik.
Salah satu yang menuai polemik penolakan dari berbagai kalangan ialah dihapuskannya ‘frasa agama’ dari visi pendidikan Indonesia. Upaya penghapusan, penghilangan frasa agama seperti beriman dan bertakwa ini diduga mengarahkan pendidikan menuju sekulerisasi pendidikan.
Hal ini tentu meresahkan berbagai kalangan, terutama kalangan guru dan juga sekolah. Seperti dihimpun oleh tim redaksi IslamToday menemukan adanya suara keresahan di kalangan guru dan sekolah. Sekolah khawatir jika PJPN tersebut tidak direvisi dan sengaja diloloskan akan berdampak buruk bagi pendidikan tanah air.
Generasi Robot, Zombie
Muhammad Ihsan Fauzi misalnya selaku Wakil Kepala Sekolah bidang kesiswaan di SMA IT Nur Hidayah Solo mengungkapkan kekhawatirannya terkait hilangnya frasa agama. Ia khawatir para siswa nantinya akan sedikit sekali menyerap nilai-nilai agama. Salah satu dampak paling serius mungkin akan dirasakan para siswa yang bersekolah di sekolah negeri, yang jam pelajaran agamanya sangat sedikit.
“(Sekarang) banyak anak-anak yang lulus SMA masih belum bisa shalat, kemudian apalagi baca Al-Qur’an sangat sedikit sekali,” kata Ihsan pada Sabtu (13/3/2021).
Ihsan mengungkapkan tidak seharusnya pemerintah khususnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) hanya fokus dalam pengembangan skill. Jika hal tersebut sengaja dilakukan oleh pemerintah maka generasi pelajar Indonesia akan lahir sebagai generasi zombie yang mengalami kekosongan spiritual. Hal ini sangat berbahaya dimana yang akan lahir ialah para ‘robot’, sangat aktif bekerja tapi tidak memiliki kecerdasan spiritual yang baik.
“Ketika bangsa ini maju dengan keterampilan, dengan kecerdasan tetapi tanpa moral spiritualitas maka akan lahir generasi zombie, generasi kosong. Mereka sangat produktif seperti robot tetapi tidak punya ruh dan tidak punya spiritualitas,” ungkap Ihsan.
“Ketika itu yang dicetak maka apa bedanya kita dengan kerbau yang bisa bekerja keras menghasilkan karya tetapi secara spiritual tidak ada akal dan tidak ada ruhnya,” ujarnya.
Ia menambahkan dalam mengisi pembangunan sudah selayaknya pemerintah memperhatikan kultur yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia ialah bangsa religious, yang memang sejak awal menjadikan agama sebagai sumber inspirasi. Agama ialah inspirasi berkemajuan bagi bangsa Indonesia.
“Negara Indonesia punya kultur agama, (agama) jadi inspirasi sejak zaman mengusir penjajah, kemerdekaan, kemudian sampai zaman pembangunan agama itu jadi inspirasi bagi umat Islam khusunya di Indonesia,” jelasnya.
“Maka ketika frasa agama ini dihilangkan dan diganti dengan budi pekerti dan kebudayaan begitu tidak pas karena cuman ngajarkan etika aja, tetapi dalam agama Islam itu lebih dalam (yaitu) adab bersumber dari tauhid, dari keyakinan kepada Allah Subahanhu Wa Ta’ala,” jelasnya.
Problem Serius Pendidikan
Hal senada juga disampaikan oleh Muhdiyatmoko dari Forum Guru Muhammadiyah Solo, ia juga mengungkapkan kekhawatirannya dengan hilangnya frasa agama di peta jalan pendidikan Indonesia. Menurutnya hilangnya frasa agama adalah permasalahan yang serius bagi dunia pendidikan.
“Hilangnya frasa agama akan menjadi persoalan serius manakala itu benar-benar terjadi. Jangan sampai kehidupan berbangsa dan bernegara kita ini dijauhkan dari agama. Khususnya dalam dunia pendidikan,” ujar Muhdiyatmoko kepada IslamToday, Selasa (16/3/2021).
Muhdiyatmoko menuturkan jika agama benar dijauhkan dari pendidikan maka pembiasaan karakter relegius dan kegiatan ibadah harian di sekolah bisa hilang. Sebab selama ini sekolah-sekolah banyak yang telah membiasakan kegiatan religius kepada para siswa, seperti shalat berjamaah di sekolah.
“Saya khawatir kalau pendidikan dijauhkan dari agama atau agama sudah tidak lagi menjadi “roh” dalam pendidikan, pembiasaan karakter religius dan kegiatan ibadah harian di sekolah bisa hilang,” ujar Muhdiyatmoko
“(Dampaknya) kita akan kehilangan calon pemimpin bangsa yang cendekia dan berkarakter relegius,” jelasnya.
Ia pun mengungkapkan ketidaksetujuannya dengan adanya draf PJPN yang disusun oleh Kemendikbud. Agama menjadi bagian dari pondasi pendidikan di Indonesia, sebagaimana amanah konstitusi UUD 1945 dan Pancasila. Oleh karenanya pemerintah sangat perlu melakukan revisi terhadap draf peta tersebut, agar pendidikan di Indonesia tidak salah arah.
“Peta jalan itu harus direvisi agar arah pendidikan Indonesia ini tidak salah jalan. Pintar tanpa agama akan membahayakan bangsa,” tandasnya.
Moko menjelaskan jika dirinya sepakat dengan para tokoh, cendekiawan muslim seperti Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, yang tidak setuju dengan hilangnya frasa agama. Seharusnya pemerintah bisa fokus pada problem-problem lain yang lebih penting bagi pendidilkan di Indonesia.
“Memberikan layanan maksimal baik kepada siswa maupun PTK. Akses layanan pendidikan yang mudah bagi siswa. Memperbanyak konten edukasi yang mudah diakses siswa,” pungkasnya.
Peran Sentral Agama
Ancaman adanya sekulerisasi pendidikan Indonesia ini juga disampaikan oleh pengamat pendidikan dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Joko Nur Kamto. Ia berpendapat hilangnya frasa agama dari draf PJPN 2020-2035 bisa berbahaya. Menurutnya hilangnya frasa agama dari draf peta bisa membawa pendidikan Indonesia ke arah sekuler.
“Itu bahaya banget, bisa sekuler. Saya tidak setuju disitu,” ungkap Joko.
Posisi agama dan nilai-nilai agama sangat esensial dan penting bagi pendidikan di Indonesia. Jika hal tersebut tercerabut dari dunia pendidikan Indonesia, pendidikan Indonesia sangat rawan menjadi sekuler.
“Sangat penting ya, jadi kalau sampai nilai-nilai Ketuhanan saja tidak ada, itu akan menjadi sekuler,” ujar Joko.
Ia menambahkan pendidikan tanpa agama justru akan menjadi liar. Hal inilah yang menurutnya sangat mengkhawatirkan, sebab bisa saja segala sesuatu diukur hanya berdasarkan baik atau buruk menurut norma sosial bukan agama.
“Ketika ilmu itu tidak didasarkan pada agama liar nanti, liar karena tidak ada pengontrolnya. Tidak ada frame worknya,” tutur Joko.
“Kalau pendidikan tidak didasarkan pada agama itu nanti akan liar kemudian nilai-nilai kebaikan itu hanya akan diukur dengan nilai-nilai sosial,” jelasnya.
Ia menambahkan dalam draf PJPN Indonesia 2020-2035 itu juga harus tetap disusun dengan memperhatikan beberapa aspek yang lainnya yang tumbuh di Indonesia. Kultur bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam sila-sila di Pancasila. Seluruh sendi-sendi kehidupan rakyat dari berbagai aspek mulai dari agama, hingga budaya tercantum dalam Pancasila.
“Dasarnya itu Pancasila, aspek-aspek Ketuhanan itu harus ada, aspek budaya itu harus, yang ketiga aspek teknologi,” tutur Joko.
“Kita boleh pintar, boleh punya wawasan global, boleh punya ilmu setinggi langit dari luar negeri tapi ketika itu harus diamalkan di Indonesia, harus disebarkan dengan nilai yang sesuai dengan (kultur) kita,” pungkasnya.
Reporter: Kukuh Subekti