(IslamToday ID) – Akhirnya, Presiden Jokowi resmi menggabungkan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Itu artinya sudah tidak ada lagi Kemenristek yang berdiri sendiri. Nomenklatur Kemenristek sudah ada sejak era Presiden pertama RI, Soekarno.
Sebenarnya bagaimana awal mula terbentuknya Kemenristek?
Kemenristek awal mulanya dibentuk di era Presiden Soekarno pada tahun 1962. Kementerian ini di masa lahirnya diberi nama Kementerian Urusan Riset Nasional Republik Indonesia.
Di era Soeharto, penamaan berganti menjadi Lembaga Riset Nasional. Kemudian, pada Kabinet Ampera I hingga Kabinet Pembangunan I, Soeharto sempat meniadakan jabatan menteri urusan riset.
Soeharto membentuk kembali kementerian ini dengan nama Kementerian Negara Riset tepatnya pada tahun 1973. Saat itu, Menteri Negara Riset dijabat oleh ayah Prabowo Subianto, Soemitro Djojohadikusumo. Soemitro menjadi Menteri Negara Riset dari 1973 hingga 1978.
Kemudian pada 1986, nomenklatur berubah menjadi Kementerian Riset dan Teknologi atau Kemenristek. BJ Habibie menjadi Menteri Riset dan Teknologi dari 1978 hingga 1998.
Kementerian Riset dan Teknologi bertahan hingga 2005. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), nomenklatur kembali berubah menjadi Kementerian Negara Riset dan Teknologi atau disingkat (KNRT).
Kementerian ini kemudian berganti nama lagi menjadi Kementerian Riset dan Teknologi berdasarkan terbitnya Perpres No 47 Tahun 2009.
Ketika Jokowi menjadi Presiden pada 2014 lalu, nomenklatur Kemenristek kembali diubah menjadi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Saat itu menteri yang menjabat adalah Mohamad Nasir.
Namun di awal periode keduanya, Jokowi kembali mengubah nomenklatur menjadi Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Menristek yang dipilih adalah Bambang Brodjonegoro yang sekaligus menjadi Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Kini, perjalanan Kemenristek sebagai kementerian harus berakhir. Presiden Jokowi akhirnya membubarkan Kemenristek dan melebur Ristek menjadi satu dengan Kemendikbud. Namun, BRIN akan berdiri sendiri menjadi sebuah lembaga.
Tumpang Tindih
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah menilai pemerintah mengutamakan kepentingan investasi ketimbang mengembangkan riset dan teknologi (ristek).
Menurutnya, hal itu tercermin dari rencana pemerintah melebur Kemenristek ke Kemendikbud serta mendirikan Kementerian Investasi.
“Ini memang keliatan sekali kepentingan investor pintunya dibuka lebar-lebar, terus terkait dengan ristek sendiri karena dianggap selama ini ristek hanya membuang-buang anggaran, dianggap tidak ada hasil yang menggembirakan terkait industri,” kata Trubus seperti dikutip dari Kompas.com, Senin (12/4/2021).
Ia menilai rencana itu berangkat dari asumsi pemerintah bahwa ristek tidak menghasilkan sesuatu yang konkrit, sementara investasi perlu dibuka lebar untuk menyelesaikan persoalan utang dan memastikan pembangunan tetap berjalan.
Padahal, menurut Trubus, tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk membentuk Kementerian Investasi karena Indonesia sudah memiliki Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Lembaga Pengelola Investasi.
Ia berpendapat rencana tersebut justru dapat menyebabkan tumpang tindih antar-lembaga dan membuat birokrasi semakin gemuk.
“Artinya ini kontradiktif, bertentangan dengan pernyataan Bapak Presiden sendiri yang mau melakukan perampingan birokrasi. Pada akhirnya, kita melihat, publik melihat bahwa segala sesuatunya menjadi tidak efektif,” katanya.
Sementara itu, di sisi lain, peleburan Kemenristek ke Kemendikbud justru dinilai akan menambah beban bagi Kemendikbud. “Karena Kemendikbud ini kan sudah menangani soal pendidikan dari dasar, menengah, sampai ke tinggi. Itu kan sudah cukup berat,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pemerintah sempat mendirikan Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) yang dinilainya tidak berjalan efektif.
Oleh karena itu, Trubus menekankan rencana peleburan Kemenristek ke Kemendikbud dan pendirian Kementerian Investasi justru akan kontraproduktif.
Dewan Pengarah BRIN
Seperti sudah diketahui, Jokowi mengangkat Nadiem Makarim menjadi Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) dan Menteri Investasi dijabat oleh Bahlil Lahadalia. Sedangkan Kepala BRIN dijabat oleh Laksana Tri Handoko.
Laksana Tri Handoko menyatakan lembaganya akan memiliki Dewan Pengarah. Menurutnya, posisi Dewan Pengarah memang sudah diamanatkan dalam UU No 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek).
Selain itu, secara filosofis negara Indonesia harus dijalankan berdasarkan ideologi Pancasila. Kemudian, Indonesia juga memiliki filosofi lain bahwa negara juga dikelola berbasis pada ilmu pengetahuan dan ini diwujudkan dalam pembentukan BRIN.
Namun, kata Laksana, pengetahuan dan riset tidak memiliki batas. Nah, agar riset dan pengetahuan tidak melebar dari ideologi Pancasila, maka dibutuhkan Dewan Pengarah dalam tubuh BRIN.
“Riset dan pengetahuan ini bisa ke mana-mana. Misalnya bisa bikin bom nuklir atau kloning manusia. Dalam konteks untuk menjaga supaya pengetahuan ini tidak keluar dari ideologi Pancasila, makanya ada Dewan Pengarah yang dalam konteks itu adalah turut menjaga dari sisi eksternal,” kata Laksana seperti dikutip dari Kumparan.
Lagi pula, kata Laksana, lembaga-lembaga riset di negara lain memang memiliki komite etik. Di Indonesia, komite etik ini diemban oleh Dewan Pengarah.
Karena fungsinya memastikan riset senapas dengan ideologi Pancasila, maka Ketua Dewan Pengarah BRIN akan diemban oleh Ketua Dewan Pengarah BPIP.
“Makanya Ketua Dewan Pengarah BRIN ex officio Ketua Dewan Pengarah BPIP,” katanya.
Saat ini, Ketua Dewan Pengarah BPIP dijabat oleh Megawati Soekarnoputri. Sehingga otomatis Ketua Dewan Pengarah BRIN juga akan dijabat Megawati.
Namun, Laksana mengatakan, jika nanti Ketua Dewan Pengarah BPIP diganti, maka yang menjadi Ketua Dewan Pengarah BRIN adalah pengganti Megawati. Sebab, yang diatur adalah jabatannya, bukan nama. “Kalau sekarang iya (Megawati). Tapi kan bukan diatur orangnya kan, ex officio jabatan,” tuturnya. [wip]