(IslamToday ID) – Presiden Jokowi telah memberikan arahan agar Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit kementerian dan lembaga terkait penggunaan produk-produk dalam negeri. Pengawasan itu dilakukan karena masih banyak ditemukan produk impor dalam belanja pemerintah.
Demikian diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Panjaitan saat mengunjungi PT Yogya Presisi Teknikatama Industri (PT YPTI) di Sleman, DIY, Rabu (19/5/2021) seperti dikutip dari Liputan 6.
Menurutnya, dari hasil audit BPKP tidak menutup kemungkinan akan ada pengenaan sanksi kepada pejabat kementerian/lembaga bersangkutan.
“Presiden kemarin memberikan arahan, jadi semua kementerian dan lembaga akan diaudit oleh BPKP bagaimana penggunaan produk-produk dalam negeri,” ungkap Luhut.
Jadi misalnya, kata Luhut, satu kementerian menyiapkan dana untuk sebuah program sebesar Rp 4 triliun, tapi hanya digunakan Rp 1 triliun untuk belanja di e-katalog dan sisanya impor, maka kemungkinan besar pejabat bersangkutan akan dikenakan sanksi. Menurutnya, sanksi tersebut dapat bersifat administratif dan pemindahan jabatan.
“Rp 3 triliun dari mana? Kalau dari luar, kita akan tanya siapa pejabat di situ yang membuat itu terjadi. Nah presiden dalam minggu depan mungkin mengumpulkan eselon 3, 2, 1 untuk memberikan penjelasan dan sanksi administratif sampai sanksi lebih keras dari itu, misalnya pemindahan jabatan,” jelas Luhut.
Pengoptimalan anggaran belanja pemerintah untuk produk dalam negeri tidak hanya akan membantu industri. Dana sekira Rp 300 triliun untuk belanja produk dalam negeri disebut bisa menciptakan jutaan lapangan kerja.
Luhut pun menegaskan kementerian/lembaga harus melakukan “jemput bola” dalam mendukung industri dalam negeri. Meski mengakui kemungkinan masih ada kekurangan, tapi pelaku industri berkomitmen untuk terus melakukan perbaikan.
Luhut juga menyebut lebih dari 80 persen dari anggaran pemerintah yang seharusnya bisa dibelanjakan di dalam negeri, justru untuk impor.
Ia mengatakan ada Rp 1.300 triliun dari APBN untuk belanja barang dan modal. Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen dari Rp 480 triliun sebenarnya bisa dibelanjakan di dalam negeri. “Tapi yang terjadi sekarang mungkin hampir 80 persen lebih itu kita belanjakan ke luar negeri,” katanya.
Jadi sebenarnya, menurut Luhut, ada dana Rp 300 triliun yang bisa dibelanjakan di dalam negeri dan sekaligus bisa membentuk investasi di industri. Pasalnya, ratusan triliun tersebut diklaim bisa menghasilkam jutaan lapangan kerja.
“Kalau kita letakkan 22 miliar dolar AS atau Rp 300 trilunan kurang lebih, itu menciptakan lapangan kerja bisa jutaan,” sambungnya.
Oleh sebab itu, Luhut mengimbau kementerian dan lembaga untuk meningkatkan belanja produk dalam negeri. Salah satunya contohnya dengan memanfaatkan berbagai produk dalam negeri yang dibuat oleh PT YPTI.
Kementerian Perindustrian juga terus mendukung penggunaan produk dalam negeri, khususnya di sektor manufaktur. Langkah ini dilakukan untuk mendongkrak program Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN) sebagai upaya menekan impor.
PT YPTI merupakan perusahaan manufaktur yang berdiri sejak 1999. Perusahaan ini telah mengimplementasikan program P3DN dengan mengembangkan welcab Toyota Sienta (alat bantu disabilitas), komponen pembangkit listrik, alat kesehatan (ventilator dan GeNose C19), mesin perkakas (CNC Milling), serta alat peraga pendidikan untuk sekolah vokasi.
Pengembangan alat kesehatan yaitu ventilator dan GeNose C19 bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). PT YPTI berperan pada produksi komponen mekanik dan plastik pada GeNose C19.
Banjir Baja Impor China
Sebelumnya, akibat dampak Covid-19 negara China sempat mengalami penurunan produktivitas. Hal itu terkait serta dengan menurunnya impor baja China ke Indonesia sebesar 40 persen di tahun 2020. Faktor lain yang menyebabkan menurunnya impor baja China di Indonesia adanya PSBB, kelangkaan kontainer, dan peran pemerintah.
Walaupun industri dalam negeri akhirnya mendominasi di kondisi pasar lokal yang menurun 27 persen, maka produksi jadi lebih rendah dibanding 2019. Sehingga utilisasi tetap di kisaran 50 persen.
Kini, pasca sembuh dari Covid-19 industri baja China kembali menunjukkan geliatnya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya peningkatan angka impor pada semester kedua Juli 2020, dengan titik tertinggi di Desember 2020 mencapai 166 persen.
Hingga memasuki 2021 tepatnya di bulan Februari, angka kenaikan impor kian bertambah mencapai 36 persen, yang berasal dari China dan Vietnam. Kenaikan volume impor ini dipicu adanya dugaan praktik banting harga sehingga menyebabkan unfair trade.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira mengatakan, ada beberapa cara yang bisa dilakukan pemerintah dan pengusaha industri baja dalam negeri untuk menekan angka impor.
“Perlu diselidiki apakah kenaikan impor baja lapis aluminium dari China mengandung praktik dumping atau persaingan usaha yang tidak sehat. Jika ditemukan praktik dumping misalnya, pemerintah China mensubsidi ekspor baja ke Indonesia dengan berbagai fasilitas seperti insentif produksi hingga tax rebate untuk ekspor, maka bisa dikenakan bea masuk anti dumping. Penjagaan lain dalam bentuk non tarif juga bisa dilakukan, misalnya mendorong sertifikasi wajib tertentu produk impor baja,” kata Bima, Selasa (27/4/2021).
Menurutnya, terkait penggunaan baja impor, cara membatasi bisa dimulai dari proyek konstruksi pemerintah pusat maupun daerah. Porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) harus diperbesar.
“Cara ini efektif untuk mendorong produsen lokal masuk ke pengadaan barang jasa proyek pemerintah. Misalnya di sektor konstruksi perumahan bisa didorong porsi lokal baja lapis aluminium seng. Atau bisa juga di proyek BUMN,” terang Bima.
Anggota Komisi VI DPR Achmad Baidowi mengatakan banjir baja impor murah, terutama asal China dapat mengancam industri baja nasional. Sebab, menurutnya, hal itu akan berdampak pada nasib ribuan karyawan yang dapat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pemerintah, masih kata Baidowi, harus bertindak memberi perlindungan bagi industri baja nasional, sekaligus menyelamatkan puluhan ribu karyawannya.
“Ini yang harus diperhatikan pemerintah, karena tenaga kerja di industri baja nasional tidak sedikit. Jangan sampai mereka mati di lumbung sendiri,” ujar Baidowi seperti dikutip dari Antara.
Tidak hanya ancaman PHK masal, tambahnya, lebih dari itu, juga membuat roda perekonomian semakin terpuruk. “Proteksi tersebut menjadi salah satu opsi yang harus dipertimbangkan pemerintah, baik dalam hal penerapan antidumping maupun safeguard. Tentu saja, dengan memperhatikan ketentuan global WTO,” ujarnya. [wip]