(IslamToday ID) – Guru besar ITS, Prof Daniel M Rosyid menilai arahan penutupan masjid pada masa pemberlakuan PPKM Darurat 3-20 Juli tidak saja keliru, tapi juga keji dan inkonstitusional.
Menurutnya, pandangan pragmatis sekuler kiri telah menempatkan tempat ibadah sebagai sektor yang tidak esensial. Baginya penutupan masjid adalah maladministrasi publik dengan menggunakan pandemisasi Covid-19 sebagai weapon of mass deception.
Lalu apa yang esensial? Bisnis? Bisnis besar obat dan vaksin? Ini adalah pandangan yang menyesatkan dan berbahaya. Setelah sektor pendidikan ditutup, kini masjid juga ditutup.
“Defisit pendidikan selama setahun lebih yang sudah menggunung setinggi utang akan ditambah dengan defisit moral spiritual. Ini tidak bisa diterima. Para pendiri bangsa mengamanahkan bahwa bangsa ini, pertama harus dibangun jiwanya, baru kemudian badannya,” tulis Prof Daniel seperti dikutip dari Zona Satu News, Senin (5/7/2021).
Menurutnya, jiwa atau mental lebih esensial daripada jasmani. Revolusi mental yang pernah bergaung keras kini tidak terdengar lagi. Apakah dulu sekadar lip service?
Prof Daniel mengatakan sejak amandemen UUD 1945 yang menjungkirbalikkan dasar-dasar kita bernegara menjadi semakin liberal kapitalistik, masyarakat banyak semakin ditempatkan dalam dua posisi nyaris tanpa pilihan: konsumen dan buruh. Hakikatnya kedua posisi yang dipaksakan itu adalah perbudakan terselubung.
“Tidak saja konsumen dan buruh dari perspektif ekonomi, tapi juga politik. Baik politik dan ekonomi kini dimonopoli oleh oligarki elite parpol yang didukung para taipan. Ini harus dihentikan secara ekstra konstitusional. Pemilu 2024 hanya akan menjadi instrumen legalisasi net transfer hak politik dan ekonomi rakyat pemilih pada elite parpol dukungan para taipan. No more no less,” tulis Prof Daniel.
Liberalisasi pasar pendidikan dan kesehatan sejak reformasi telah menempatkan masyarakat banyak hanya sebagai konsumen persekolahan dan layanan kesehatan. Masyarakat menjadi makin tergantung pada persekolahan juga klinik, puskesmas, dan rumah sakit.
Gaya hidup masyarakat banyak makin buruk yang menyebabkan comorbid menyebar luas ke berbagai kelas masyarakat. Pendekatan layanan kesehatan yang makin kuratif ini makin mahal dan unsustainable.
“Masyarakat makin mudah dipermainkan oleh industri obat dan vaksin global dengan kapitalisasi ratusan jika bukan ribuan triliun rupiah,” tulis Prof Daniel.
Ia mengatakan, menganggap pasar adalah sektor esensial sementara masjid tidak sama saja dengan mengatakan bahwa makmur boleh tapi kufur nggak masalah.
“Ini penghinaan atas sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Hanya kaum penyembah berhala ekonomi yang bisa menerima arahan agar masjid ditutup. Islam mengutamakan salat berjamaah di masjid, terutama bagi laki-laki,” ujarnya.
Ia menambahkan, salat adalah teknologi pertahanan iman agar tidak berbuat maksiat dan mungkar. Masjid adalah institusi yang mengemban pembangunan ketahanan masyarakat secara multi-ranah, multi-cerdas. Menutupnya adalah keliru.
Prof Daniel menjelaskan, konstitusi masih menjamin bahwa setiap warga negara dapat dengan bebas melaksanakan keyakinannya tanpa mengganggu umat agama yang lain. Penutupan sekolah dan kampus saja sulit bisa diterima, apalagi masjid.
“Kebijakan ini terbaca sebagai kelanjutan dari narasi bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Ini adalah agenda kelompok sekuler kiri radikal yang kini bersembunyi di balik kekuasaan,” tulisnya.
Dari perspektif peningkatan imunitas sebagai strategi paling efektif dalam melawan Covid-19 ini, maka penutupan masjid adalah counter-productive. Memang Covid-19 itu faktual. Namun respons kita terhadapnya adalah pilihan strategi.
“Jiwa yang tenang yang tumbuh dari kedekatan pada Allah adalah kunci mental dalam menghadapi teror pandemisasi Covid-19 ini. Mereka yang mampu mengelola stress akibat teror biologis ini akan memenangkan mental game ini,” tulisnya.
Terakhir, menutup masjid adalah perampasan kebebasan sipil sekaligus sikap ingkar atas berkat dan rahmat Allah yang menjadi dasar bagi keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. “Maladministrasi publik ini tidak bisa diterima,” pungkasnya. [wip]