(IslamToday ID) – Politikus PKS Ledia Hanifa Amalia mengkritik Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikbud-Ristek) No 30 Tahun 2021 mengenai penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.
Ia menilai muatan dalam peraturan menteri tersebut jauh dari nilai-nilai Pancasila dan cenderung pada nilai-nilai liberalisme, karena tidak memasukkan landasan norma agama. Selain itu, Ledia memandang muatan peraturan menteri ini banyak memasukkan unsur liberal dalam mengambil sikap.
“Padahal Pancasila dengan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar negara yang setiap silanya dijabarkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan cara manusia Indonesia bersikap dan mengambil keputusan,” ujar Ledia seperti dikutip dari Tempo, Kamis (4/11/2021).
Berikut isi pasal-pasal yang dikritik itu:
1. Pasal 3
Kritik:
Ledia menilai pasal ini tidak mengandung landasan norma agama.
Pasal ini berisi prinsip-prinsip pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Prinsip tersebut antara lain kepentingan terbaik bagi korban, keadilan dan kesetaraan gender, kesetaraan hak dan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas, akuntabilitas, independen, kehati-hatian, konsisten, dan jaminan ketidakberulangan.\
2. Pasal 5 ayat 2
Kritik:
Ledia mempermasalahkan kata “persetujuan” atau yang biasa dikenal sebagai consent menjadi diksi yang berulang-ulang digunakan. Ia menilai acuan ini berbahaya. Apalagi jika tidak dimasukkannya norma agama, generasi muda seolah digiring pada konteks bahwa dengan persetujuan, suatu perilaku terkait seksual bisa dibenarkan.
Pasal ini berisi 21 tindakan yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual. Yaitu:
1. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan indentitas gender;
2. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
3. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
4. menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
5. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang Korban;
6. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
7. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
8. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;
9. mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;
10. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban;
11. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
12. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan korban;
13. membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban;
14. memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;
15. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual;
16. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;
17. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;
18. memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi;
19. memaksa atau memperdayai korban untuk hamil;
19. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan;
20. sengaja; dan/atau;
21.melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
3. Pasal 7 dan 8
Kritik:
Ledia menilai kedua pasal ini belum dapat memberikan pencegahan dan perlindungan secara hukum, dan hanya fokus pada birokratisasi adminsitratif.
Dua pasal ini berisi tentang pencegahan kekerasan seksual. Pada Pasal 7 pencegahan kekerasan seksual oleh pendidik dan tenaga kependidikan meliputi:
1. membatasi pertemuan dengan mahasiswa secara individu di luar area kampus, jam operasional kampus, dan kepentingan lain selain proses pembelajaran tanpa persetujuan kepala atau ketua program studi atau ketua jurusan.
2. berperan aktif dalam pencegahan kekerasan seksual.
Ketentuan persetujuannya ialah pendidik atau tenaga kependidikan menyampaikan permohonan izin tertulis atau melalui media komunikasi elektronik mengenai rencana pertemuan dengan mahasiswa, dan disampaikan kepada kepala atau ketua program studi atau ketua jurusan sebelum pertemuan.
Sedangkan Pasal 8 mengenai pencegahan kekerasan seksual oleh mahasiswa yang meliputi:
1. membatasi pertemuan dengan pendidik dan tenaga kependidikan secara individu di luar area kampus, jam operasional kampus, dan kepentingan lain selain proses pembelajaran tanpa persetujuan kepala atau ketua program studi atau ketua jurusan.
2. berperan aktif dalam pencegahan kekerasan seksual.
Ketentuan persetujuannya ialah mahasiswa menyampaikan permohonan izin tertulis atau media komunikasi elektronik mengenai rencana pertemuan dengan pendidik atau tenaga kependidikan, dan disampaikan kepada kepala atau ketua program studi atau ketua jurusan sebelum pertemuan.
Ketentuan tata cara pemberian persetujuan pada Pasal 7 dan 8 ditetapkan dengan Keputusan Pemimpin Perguruan Tinggi.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menguatkan kritik yang disampaikan oleh Fraksi PKS.
“Kritik oleh @FPKSDPRRI itu agar Permendikbud terkait Kekerasan Seksual di PT itu sgr ditarik/diperbaiki. Agar terbukti komitmen berPancasila&UUD45,jg untuk selamatkan Mahasiswa/i dari amoral terkait sex dg dalih terjadi tanpa kekerasan. Itu tuntutan 12 ormas yg menolaknya juga,” tulis Hidayat di akun media sosialnya. [wip]