(IslamToday ID) – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pasal penggeledahan dalam UU Polri.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, polisi tidak bisa sembarangan melakukan penggeledahan. Menurutnya, penggeledahan hanya boleh dilakukan penyidik pada tahap penyelidikan. Dan tidak semua anggota Polri bisa menggeledah warga.
“Seharusnya kepolisian sudah paham yang lakukan penggeledahan adalah penyidik dalam tugas penyidikan. Sudah ada surat perintah penyidikan, surat penetapan tersangka, baru dia penyidikan. Itu yang benar,” kata Isnur seperti dikutip dari CNN Indonesia, Selasa (1/2/2022).
Ia menjelaskan aturan penggeledahan tercantum dalam pasal 33-37 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurutnya, kepolisian tidak bisa melakukan penggeledahan tanpa mengindahkan tata cara dalam aturan itu.
Meski demikian, Isnur menyebut kepolisian seringkali melakukan penggeledahan tak sesuai aturan. Ia memberi contoh kasus Aipda Ambarita yang menggeledah ponsel warga dalam razia yang ditayangkan di televisi.
“Seperti Ambarita ya, dia melakukan penggeledahan dalam tugas apa? Kalau dia sebagai penyidik, ada sprindik dalam perkara tertentu, dia bisa. Tapi kalau orang lewat langsung disita, digeledah, itu enggak boleh, jelas melanggar,” ujarnya.
Isnur berpendapat seharusnya MK memberi tafsir untuk aturan penggeledahan pada pasal 16 ayat (1) UU Polri. Ia merasa perlu ada penegasan soal pihak yang boleh melakukan penggeledahan.
“Pasal 16 seharusnya ditafsirkan secara sempit oleh MK bahwa yang boleh menggeledah itu penyidik. Karena apa? Pidana dalam konteks KUHAP adalah penyidikan,” tuturnya.
Sebelumnya, MK menolak uji materi pasal 16 ayat (1) UU Polri. Pasal itu mengatur soal kewenangan polisi melakukan penggeledahan.
Gugatan itu dilayangkan oleh dua mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKI). Mereka merasa penggeledahan yang dilakukan kepolisian, terutama di acara televisi, sering kali merendahkan martabat warga. [wip]