(IslamToday ID) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid alias HNW menyesali hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.
Ia mengingatkan kembali agar hakim yang berada di lingkungan Mahkamah Agung (MA) dan MA sendiri untuk mentaati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak mengesahkan pernikahan beda agama, serta fatwa MUI yang menolak pernikahan beda agama.
HNW mengatakan, hakim di Pengadilan Negeri seharusnya mengundang dan mendengarkan pendapat MUI sebagai otoritas keagamaan di Indonesia. Dalam konteks Indonesia sebagai negata hukum, para hakim harusnya juga mentaati putusan MK yang bersifat final dan mengikat. Apalagi MK sudah berulang kali menolak permohonan uji materi UU Perkawinan untuk membolehkan perkawinan beda agama.
“Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan perkawinan beda agama itu telah mengabaikan prinsip Indonesia sebagai negara hukum, yang mengenal adanya hierarki perundangan yang harusnya ditaati. MK untuk yang kesekian kalinya menolak pengesahan perkawinan beda agama, itu seharusnya menjadi rujukan utama oleh hakim Pengadilan Negeri, karena menurut UUD 1945, putusan MK bersifat final dan mengikat, termasuk mengikat para hakim di lingkungan MA,” jelas HNW dalam rilisnya, Senin (26/6/2023).
Sebelum kasus di PN Jakpus ini, hakim PN Surabaya, PN Yogyakarta, PN Tangerang, dan PN Jakarta Selatan juga telah melakukan hal serupa. Padahal itu tidak sesuai dengan konstitusi, keputusan MK, UU Perkawinan, dan fatwa MUI.
HNW menilai pandangan MUI dan ormas Islam di Indonesia telah berulang kali menyatakan tidak dibolehkannya perkawinan beda agama berdasarkan syariat Islam dan UU Perkawinan. Hal itu harusnya disimak dan dirujuk oleh para hakim.
“Ini seharusnya yang menjadi pegangan utama para hakim apabila menghadapi permohonan pengesahan perkawinan beda agama, dimana salah satu pasangannya beragama Islam,” ujarnya.
“Dan mestinya MA mendisiplinkan para hakimnya untuk melaksanakan ketentuan konstitusi, mentaati keputusan MK, merujuk kepada UU Perkawinan, dan juga merujuk kepada fatwa MUI.”
“MA perlu menertibkan para hakim di bawah lingkungan kewenangannya, agar terjadi tertib hukum di negara hukum Indonesia. Agar tidak terulang kembali masalah pengabulan permintaan pernikahan beda agama yang meresahkan masyarakat, serta mengganggu harmoni sosial di internal umat beragama. Agar tidak terjadi lagi laku hukum yang tidak sesuai dengan norma hukum tertinggi (UUD) dan lembaga hukum dengan otoritas tertinggi (MK), dan ketentuan agama yang diakui di negara hukum Indonesia,” lanjut HNW.
Selain itu, HNW juga menegaskan bahwa UUD 1945 memang mengakui adanya perkawinan tapi perkawinan yang sah, dan tolok ukurnya adalah yang sah menurut ajaran agama. Hal demikian itulah yang sesuai dengan hak asasi manusia yang dijamin dan diperbolehkan oleh UUD 1945, yakni Pasal 28B ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2).
“Inilah yang menjadi rujukan MK ketika menolak berbagai permohonan uji materi UU Perkawinan yang ingin melegalkan perkawinan beda agama,” ujarnya.
HNW juga mengkritik pertimbangan hakim PN Jakpus yang berdalih menggunakan alasan sosiologis dalam mengabulkan permohonan. Ia menegaskan bahwa Pasal 28B ayat (1) secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
Sedangkan yang dimaksud perkawinan yang sah adalah yang diatur dalam UU Perkawinan yaitu apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. [wip]