(IslamToday ID) – Tokoh muda NU sekaligus pengajar di Universitas Monash Australia Prof Nadirsyah Hosen merespons ketegangan yang terjadi di tubuh PBNU terkait perbedaan dukungan kader-kader terbaik pada Pilpres 2024. Ketegangan ini, menurutnya, harus diluruskan karena sejatinya PBNU bukanlah partai politik.
“PBNU terikat dengan khittah 1926 yaitu ketika NU berdiri dulu pada 1926 itu garis perjuangannya oleh Syaikh Hasyim Asyari NU bukan organisasi politik. Pertama kali didirikan organisasi jamiyah Nahdlatul Ulama bukan menjadi partai politik,” kata Gus Nadir sapaan akrabnya dikutip dari YouTube Mojokdotco, Kamis (18/1/2024).
Meski zaman dahulu NU pernah menjadi partai politik namun kembali lagi ke khittah 1926. “Tapi tafsiran kembali ke khittah 1926 itu sangat dinamis. Dulu itu tafsirannya adalah di zaman Orde Baru NU menarik diri dari semua partai politik fokus bangun pesantren, ngaji. Jadilah lahir tokoh-tokoh sekaliber Gus Dur,” terangnya.
Kemudian di era reformasi NU mendirikan partai politik yakni PKB, namun dalam perkembangannya orang NU tidak hanya ada di PKB tapi juga ada di Golkar, PPP, atau PKS.
“(Pada 2024) Kembali ke khittah saat Gus Yahya (KH Yahya Cholil Staquf) terpilih menjadi ketua PBNU dan beliau mengatakan PBNU itu netral dan tidak akan pernah ada capres-cawapres dari PBNU. Itu dibuktikan di 2024 tidak ada capres-cawapres yang resmi dicalonkan NU karena memang PBNU bukan partai politik,” jelasnya.
“Kedua, PKB mendapatkan keistimewaan dengan PBNU. Di masa Gus Yahya ini PBNU ingin merangkul semuanya. Bukan hanya dengan PKB, tapi juga Golkar, PPP, PKS yang dalam praktiknya dipahami merangkul semua kecuali PKB,” paparnya.
Belakangan, lanjutnya, permasalahan yang timbul semakin parah dengan adanya ketegangan di antara para tokoh PBNU.
“Saya mendengar kemarin di Surabaya oleh PBNU di Hotel Bumi pengurus seluruh Indonesia dan ketua umum hadir. Bahwa memang ini menjadi masalah ketika retorika di luar adalah netral. Dalam pertemuan itu ternyata ada dawuh untuk mendukung calon 02. Ini menjadi keresahan kenapa PBNU melanggar untuk tidak bermain politik praktis,” paparnya.
Menurutnya, apa yang dilakukan PBNU yang dipimpin Gus Yahya ini berbahaya karena ketika PBNU terlibat mendukung salah satu pasangan menjadikan civil society tidak lagi berdaya menghadapi Pilres.
“Kedua, apabila ada chaos kepentingan maka NU yang selama ini menjadi elemen kuat pemersatu bangsa, apakah masih dipercaya masyarakat untuk menengahi konflik-konflik politik? Padahal khittah NU untuk menjaga kebangsaan kita,” ucapnya.
Gus Nadir kemudian meminta kembali kepada para petinggi PBNU untuk mempertimbangkan kembali apa yang lebih menguntungkan bagi umat. [ran]