(IslamToday ID) – Turki dan Rusia sepakat untuk mendesak gencatan senjata di Libya yang dilanda perang. Tetapi Ankara mengatakan Rusia tidak sah dan harus menarik diri dari posisi pentingnya agar gencatan senjata yang sesungguhnya bisa bertahan.
Moskow dan Ankara adalah pemain penting di kedua kubu yang berlawanan dalam konflik di Libya. Rusia mendukung pasukan pemberontak pimpinan Khalifa Haftar atau LNA yang berbasis di timur, sementara Turki membantu Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli.
“Kami baru saja mencapai kesepakatan dengan Rusia untuk melakukan gencatan senjata yang dapat dipertanggungjawabkan dan berkelanjutan di Libya,” kata penasihat keamanan utama Presiden Recep Tayyip Erdogan, Ibrahim Kalin, seperti dikutip di Reuters, Sabtu (25/7/2020).
Kalin mengatakan kesepakatan apapun harus didasarkan pada kondisi Libya di tahun 2015, yakni pasukan Haftar harus mundur dari Kota Sirte, pintu gerbang ke ladang minyak timur Libya, dan al-Jufra, sebuah pangkalan udara di dekat pusat kota. “Agar gencatan senjata bisa berkelanjutan, Jufra dan Sirte harus terbebas dari pasukan Haftar,” kata Kalin.
Pasukan GNA yang didukung Turki telah bergerak ke Sirte dan bersumpah untuk merebut kembali kota Mediterania bersama dengan pangkalan udara al-Jufra.
Amerika Serikat (AS) mengatakan Moskow mengirim pesawat perang ke al-Jufra melalui Suriah untuk mendukung tentara bayaran Rusia yang bertempur bersama LNA pimpinan Haftar. Namun, Rusia dan LNA sama-sama menyangkal itu.
Mesir, yang juga mendukung LNA, telah mengancam akan mengirim pasukan ke Libya jika GNA dan pasukan Turki berusaha merebut Sirte. Parlemen Mesir pada hari Minggu memberikan lampu hijau untuk kemungkinan intervensi militer.
Kalin mengatakan pengerahan Mesir di Libya akan menghambat upaya untuk mengakhiri pertempuran dan akan berisiko bagi Kairo. “Saya percaya ini akan menjadi petualangan militer yang berbahaya bagi Mesir.”
Menteri Luar Negeri Mesir, Sameh Shukry mengatakan untuk mencapai solusi politik di Libya membutuhkan respons tegas terhadap “ekstremis” dan campur tangan asing, yang tidak hanya mengancam kepentingan Mesir, tetapi juga keamanan negara-negara Mediterania.
Ia mencatat proposal perdamaian yang diumumkan di Kairo bulan lalu bertujuan untuk menstabilkan Libya dan menghilangkan pejuang bersenjata dan milisi di negara kaya minyak itu.
Upaya Gencatan Senjata
Proposal yang diumumkan oleh Presiden Abdel Fattah el-Sisi termasuk gencatan senjata dan badan presiden terpilih baru yang mewakili tiga wilayah Libya. Kubu Libya timur menyetujui proposal tersebut, dijuluki Deklarasi Kairo, sementara pemerintah yang berbasis di Tripoli menolaknya.
Kesepakatan bersama pada hari Rabu oleh Turki dan Rusia yakni tentang upaya gencatan senjata, termasuk seruan untuk langkah-langkah menciptakan akses kemanusiaan kepada mereka yang membutuhkan, dan upaya untuk menggelar dialog politik antara dua pihak di Libya.
Tetapi Kalin mengatakan Haftar telah melanggar kesepakatan gencatan senjata sebelumnya. Ia menyebut Haftar bukan mitra yang dapat diandalkan. Ia meminta tokoh-tokoh lain di timur untuk ikut berperan.
“Kami tidak menganggap (Haftar) sebagai aktor yang sah,” katanya seperti dikutip di Al Jazeera. “Tapi ada parlemen lain di Tobruk. Ada pemain lain di Benghazi. Negosiasi harus dilakukan di antara mereka.”
LNA sendiri telah mengirim pasukannya untuk mempertahankan Sirte yang sudah porak-poranda akibat perang dan kekacauan sebelumnya sejak revolusi 2011 melawan Muammar Gaddafi.
Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan mendukung gencatan senjata dan pembicaraan politik yang akan berujung pada pemerintah yang bersatu. Rusia telah menerima delegasi senior dari kedua kubu di Moskow, namun gagal membuat Haftar menandatangani perjanjian gencatan senjata.
Pernyataan Shukry datang via panggilan telepon terpisah dengan Menteri Luar Negeri Perancis Jean-Yves Le Drian dan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas.
Sementara itu, Erdogan menggelar pertemuan keamanan tingkat tinggi yang fokus pada Libya pada hari Rabu. Erdogan menyatakan Turki tidak akan ragu untuk mengambil semua langkah yang diperlukan terhadap semua jenis penindasan yang terjadi di Libya. Pihaknya siap mendukung rakyat Libya melawan tirani apapun.
Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), dan kekuatan asing lainnya telah memberikan bantuan militer kepada pasukan Haftar. Rusia juga mengirim ratusan tentara bayaran melalui Wagner Group, sebuah perusahaan militer swasta.
Libya jatuh ke dalam kekacauan ketika pemberontakan yang didukung NATO pada 2011 menggulingkan Gaddafi yang kemudian terbunuh. [wip]